RADAR NONSTOP- Partai Rakyat Demokratik (PRD) menilai kelembagaan politik yang ada di Papua saat ini, termasuk Otonomi Khusus (Otsus) tidak berhasil membuat orang asli Papua menjadi pengambil keputusan. Adanya ketidakberhasilan itu PRD menilai ada dua penyebab.
Melalui rilis media yang berhasil diterima Radarnonstop.co (Rakyat Merdeka Group), pada Rabu (21/8/2019) menyampaikan, adanya dua penyebab tersebut.
Pertama, kelembagaan politik Otsus, yang diwakili oleh Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP), tidak menyentuh basis sosial masyarakat Papua, yaitu suku-suku dan marga-marga.
BERITA TERKAIT :Kedua, MRP yang diharapkan menjadi penyambung lidah masyarat asli Papua tidak punya kewenangan dan kekuasaan layaknya lembaga legislatif murni. Akibatnya, ketika banyak masyarakat Papua yang mengadukan nasibnya ke MRP, lembaga ini tak bisa berbuat banyak.
Menurut Ketua Umum PRD Agus Jabo Priyono, melalui rilis media menyampaikan, PRD telah membahas soal Papua pada Musyawarah Besar (Mubes) yang digelar di Yogyakarta, pada 5-7 Agustus 2019 lalu. Mubes tersebut, kata Agus Jabo, khusus membahas soal Papua.
Karena itu, melalui Mubes ini PRD mengajukan konsep Dewan Rakyat Papua (DRP) sebagai pengganti model kelembagaan politik lama (DPRP dan MRP).
DRP versi PRD adalah sebuah badan perwakilan yang punya fungsi legislasi, penganggaran, pengawasan, dan menyuarakan aspirasi masyarakat.
DRP terdiri dari perwakilan partai politik, suku/marga, perempuan dan agama. DRP ada di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Perwakilan DRP dari Parpol adalah perwakilan yang diajukan oleh partai politik dan dipilih dalam Pemilihan Umum. Sementara perwakilan suku/adat, perempuan dan agama tidak melalui Pemilu, melainkan proses musyawarah mufakat.
"Perwakilan suku/adat dipilih melalui musyawarah-mufakat di sukunya masing-masing. Untuk DRP tingkat Kabupaten/Kota, setiap suku berhak mengirimkan minimal satu orang wakil sesuai jumlah populasi yang diwakili,"terang Agus Jabo melalui rilisnya yang berhasil diterima wartawan, Rabu (21/8/2019).
Masih menurut Agus Jabo, perwakilan DRP tingkat Provinsi dipilih melalui proses musyawarah-mufakat dewan antar suku di masing-masing kabupaten/kota. Perwakilan agama dipilih dan ditunjuk melalui proses musyawarah-mufakat di forum keagamaan masing-masing.
Sementara perwakilan perempuan direkomendasikan oleh organisasi perempuan, lalu diputuskan lewat mekanisme musyawarah-mufakat.
“Ada banyak persoalan yang dialami masyarakat tiap suku, tetapi tak ada yang menyalurkannya. DRP mewadahi suku-suku itu agar mereka bisa berbicara dan menyusun kebijakan yang sesuai suara akar rumput,” jelasnya.
Selain itu, lanjut Agus Jabo, berbeda dengan MRP yang lemah kewenangan, lewat DRP perwakilan suku/adat, agama dan perempuan akan punya kewenangan sebagai badan perwakilan.
Kendati demikian, pihaknga berharap dengan konsep DRP masyarakat asli Papua bisa berdaulat secara politik, sehingga bisa merumuskan dan memutuskan kebijakan yang membawa Papua pada kehidupan yang lebih baik.