RADAR NONSTOP - Nasib NKRI ada di palu hakim Mahkamah Konstitusi. Jika sembilan hakim bekerja dengan hati nurani dan tidak bisa diintervensi maka Indonesia bisa selamat dari bencana.
Begitu dikatakan mantan penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua mengingatkan sembilan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang menangani perkara gugatan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pilpres 2019 agar bekerja berdasarkan hati nurani dan memutuskan sesuai fakta yang ada.
"Saat ini kondisi bangsa dan negara kita bahaya sekali. Kalau MK tidak memutuskan berdasarkan nurani dan fakta yang ada, bisa jadi bluder, bisa jadi berdarah-darah, anak bangsa ini bisa terbelah menjadi kubu 01 dan 02. Karena itu saya putuskan untuk turun agar teman-teman bisa menyampaikan aspirasi dengan benar dan sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku," kata Abdullah di sela-sela aksi damai sekitar 2.000 massa Gerakan Kedaulatan Rakyat, Alumni 212 dan FPI di Patung Kuda, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (14/6/2019).
BERITA TERKAIT :Aksi ini digelar sebagai bentuk dorongan moril bagi MK agar dapat memutus dengan jujur dan adil perkara sengketa PHPU Pilpres 2019 yang diajukan pasangan nomor urut 02 Prabowo-Sandi yang menilai pelaksanaan Pilpres 2019 sarat kecurangan yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM) demi kemenangan pasangan 01 Jokowi-Ma'ruf Amin.
Abdullah dan Ketua FPI Ustad Sobri Lubis merupakan penanggung jawab aksi ini.
Abdullah mengakui, aksi ini tak hanya dilakukan pada Jumat ini, namun juga pada sidang kedua MK yang dijadwalkan pada Selasa (18/6/2019), dan mereka juga akan demo lagi pada 24-28 Juni alias hingga MK menjatuhkan putusan.
"Kita perlu memberikan dukungan moril untuk MK, karena MK adalah wakil Tuhan, sehingga harus dapat memutuskan sesuai ketentuan Tuhan yang juga tercermin pada sila pertama Pancasila, yaitu putusan yang mendatangkan manfaat bagi NKRI, bagi rakyat dan bagi bangsa. Jika tidak, saya khawatir negara bisa bubar, (karena) Aceh bisa lepas, Papua bisa lepas, Papua Barat bisa lepas, Sulawesi Utara bisa lepas, dan beberapa provinsi lagi (juga bisa lepas). Itu berbahaya. Saya sebagai kader pendiri NKRI, merasa bertanggung jawab untuk itu," katanya.
Selain hal tersebut, Abdullah juga mengatakan kalau MK memutuskan tidak sesuai nurani dan fakta yang ada, ia khawatir NKRI bisa jadi jajahan negara superpower.
"Ekonomi kita sekarang memprihatinkan. (Alokasi) APBN 2019 yang utama adalah untuk pembiayaan administasi, biaya rutin. Kedua untuk bayar utang dan bunga utang, sekitar Rp600 triliun, sedang APBN hanya Rp2.000 Triliun. Di sisi lain, 10 BUMN punya utang Rp5,000 triliun. Kalau tidak ditangani dengan serius, negara kita tergadaikan," katanya.
Abdullah juga menyoroti kebijakan impor pemerintah yang gila-gilaa yang akhirnya menggerus neraca perdagangan hingga mengalami defisit US$2,5 miliar pada April 2019, terburuk dalam sejarah Indonesia, karena aktivitas impor lebih tinggi dari ekspor.
"Kita negara agraris, tapi kita impor sayuran. Pakai logika apa kita impor sayuran? Kita impor jagung, impoir kedelai .... Negara kita negara maritim, tapi impor garam dari China, Australia dan India dengan alasan garam kita tidak berkualitas. Lho, mengapa tidak dibuat berkualitas seperti garamdari China, Australia dan India? Itu yang saya dorong agar MK punya kesadaran dalam menangani perkara gugatan ini, agar jangan sampai negara ini bubar," tegasnya.
Ia berharap, dengan adanya dukungan moril, kesembilan hakim MK dapat membuat putusan yang menyejukan, menyenangkan, dan sesuai fakta hukum.
"Kalau mereka berani, tidak seperti KPU dan Bawaslu yang takut karena ditekan dan diitervensi, maka insya Allah MK akan membuat putusan sesuai fakta hukum yang ada. Fakta itu misalnya kasus Ma'ruf Amin yang ternyata sampai sekarang belum mundur dari jabatan Dewan Pengawas Syari'ah di BNI Syariah dan Bank Mandiri Syariah. Itu saja sudah selesai (perkara ini), karena menurut undang-undang hal itu melanggar peraturan. Dari situ 01 bisa didiskualifikasi," katanya.
Abdullah juga menyebut soal kecurangan-kecurangan yang ditemukan relawan 02 pada hari pemungutan dan perhitungan suara pada 17 April 2019, dan kasus pencurian suara seperti yang terungkap di Sistem Informasi Perhitungan (Situng) KPU dimana perolehan suara 01 ditambah, sementara perolehan suara 02 dikurangi.
"Kalau MK terus kita beri dorongan moril, sehingga berani karena merupakan wakil Tuhan, maka akan membuat putusan sesuai fakta hukum, dan indonesia akan selamat dari bencana," katanya.
ketika ditanya apakah ia yakin dengan independensi Ketua MK Anwar Usman? Karena meski Anwar berkali-kali mengatakan bahwa MK tak dapat diintervensi, namun faktanya dia adalah kader Partai Nasdem, partai pendukung 01?
Abdullah berkelit dengan mengatakan bahwa Anwar punya background agama yang baik.
"Karena itu, dengan dorongan moril, kita gerakkan nurani dia. Dia juga harus ingat ayat-ayat Alquran yang dia bacakan, harus diingat. Kalau ayat yang dia baca itu tidak dilaksanakan, murka Allah bagi dia," tegasnya.
Ia bahkan mengingatkan, jika MK akhirnya menolak gugatan 02, maka kesembilan hakimmnya akan menanggung risikonya.
"Kalau negara ini bubar, mereka yang tanggung jawab dunia akhirat. Negara bubar, kacau balau, jadi jajahan negara superpower, anak cucu kita jadi jongos, jadi babu di negeri sendiri, mereka yang tanggung jawab," katanya.
Ia menyarankan, agar putusan MK jujur dan adil, MK dapat terlebih dahulu melakukan investigasi IT KPU dan proses di KPU maupun KPUD. Ia yakin, jika MK menginvestigasi IT KPU, maka kecurangan-kecurangan sebagaimana dituduhkan 02, akan terbukti, karena jejak digital tak bisa dihapus dan dihilangkan.
"Demi Allah. Jam 13 lewat 15 tanggal 17 April, saya lihat detikcom sebut 60 persen suara sudah masuk, dimana 02 mendapat 52 koma sekian persen, dan 01 mendapat sekitar 47 koma sekian persen. Dalam QC (quick count), kalau suara masuk sudah 60%, perolehan suara tidak lagi mengalami perubahan. Itu jam 13:15. Ternyata setelah lima menit iklan di televisi, semua berbalik. Saya tidak sepenuhnya menyalahkan lembaga survei (yang semuanya memenangkan 01 dengan perolehan suara 54-56%). Mereka sadar atau tidak, program di laptrop mereka, itu bukan program mereka, itu program orang luar yang angkanya masuk, angka yang sudah didesain untuk menangkan 01," katanya.
Menurut Abdullah, MK dapat memutuskan untuk melakukan ivestigasi pada putusan sela. Hasil investigasi itu dapat dijadikan acuan untuk membuat putusan.
"Atau pada putusan sela MK cukup menjadikan kasus Ma'ruf Amin untuk mendiskualifikasi 01. Selesai. Atau mereka juga putuskan apakah Pilpres ulang atau yang lain," katanya.
Meski demikian Abdullah mengatakan, jika pun MK akhirnya membuat putusan karena tekanan dan intervensi, kubu 02 dapat membawa kasus kecurangan Pilpres 2019 ke Mahkamah Internasional atau Pengadilan Internasional.
Seperti diketahui, 02 menggugat ke MK karena hasil real count KPU yang diumumkan pada 21 Mei pukul 01:46 WIB memenangkan 01 dengan perolehan suara 55,5%. Saksi 02 yang menghadiri real count itu menolak menandatangani penetapan karena menilai terlalu banyak keganjilan dalam real count tersebut.