RADAR NONSTOP - Era digital menggeser gaya pembaca di Indonesia. Dulu, orang bangun tidur langsung baca koran tapi kini langsung lihat ponsel.
Pola perubahan pembaca itulah yang membuat media cetak banyak yang tutup dan kembang kempis. Wakil Presiden Jusuf Kalla atau JK tidak membantah banyak media mulai anjlok.
Apalagi kata dia, saat ini persaingan antara tiap media sangat ketat.
BERITA TERKAIT :Agar bisa bersaing, kata JK, media harus memfokuskan diri memperbesar pasar lokal dengan memperbesar keunikan. Pasalnya, jika bersaing secara nasional akan membuat media sulit berkembang.
JK menyebutkan persaingan yang kian ketat antar media ini tak lepas dari kian majunya perkembangan teknologi. Pasalnya, perkembangan teknologi membuat setiap orang dapat menjadi penyampai informasi seperti media sosial.
"Karena berita atau media sudah jadi industri. Ada persaingan," ucap JK, dalam paparannya di Bandung, Minggu, 17 Maret 2019.
Lebih jauh JK menyebutkan, yang dipersaingkan dalam sistem tak lain adalah media mana yang dapat memberikan informasi lebih baik, membawa informasi lebih cepat, dan yang lebih murah. "Tiga hal persaingan ini akan jadi bagian dari media itu sendiri. Ini tentu diikuti dengan perkembangan teknologi," katanya.
Saat ini, kata JK, hanya media yang objektif dan memberikan informasi dengan cepat yang dapat bertahan di era teknologi informasi sekarang. Dan pada saat ini teknologi telah membuat tata cara baru cara berbisnis termasuk industri media.
"Media juga berubah dengan cepat, dulu bangun tidur (kita) buka surat kabar. Sekarang hidupkan TV lalu ambil handphone (untuk mengakses berita dan informasi)," kata JK.
Untuk itu, JK menyebutkan pemilik media harus menyadari saat ini perannya bukan lagi penyampai narasi sentral atas informasi.
Media Sosial Vs Koran
Media sosial atau medsos dinilai sebagai penyampai pesan paling cepat. Tidak harus melihat TV dan baca koran, medsos sudah langsung memberikan informasi.
Jika informasi atau peristiwa itu heboh, nyeleneh dan unik langsung viral. Seorang pimpinan media cetak di Jawa Barat mengaku, era digital menggerus koran.
Bukan hanya soal jumlah pembaca atau oplah tapi iklan pun kedodoran. "Tiap bulan kami harus memutar otak untuk bayar gaji karyawan. Padahal dulu, jangankan gaji beli gedung aja sanggup," aku pria yang namanya enggan disebutkan.
Kata dia, perusahaan mau tidak mau harus mengikat pinggang soal pengeluaran dan kesejahteraan karyawan. Jika tidak maka koran akan tutup.
"Yang bikin berat itu iklan yang makin sepi. Tanpa iklan mana bisa perusahaan koran hidup. Hasil jual koran tidak bisa menutupi operasional wartawan dan redaktur," bebernya.
Yang makin tragis adalah pos iklan di kementerian juga sedikit. Bahkan ada kementerian tak beriklan.
"Iklanproduk juga makin habis. Tapi saya yakin jika kita bisa bertahan 5 tahun ke depan, maka koran akan selamat. Sama waktu radio digempur banyak TV swasta, toh sampai saat ini masih hidup," bebernya.
Koran yang hidup menurutnya, adalah media yang mampu segera mungkin melakukan rekturisasi dari segala bidang. "Sama dengan radio yang saat ini mampu hidup dia yang segmennya sangat jelas. Seleksi alam lah," tukasnya.