RN – Pengesahan RUU KUHAP oleh DPR kembali memicu gelombang kritik keras dari para pakar hukum dan akademisi. Alih-alih disebut sebagai pembaruan besar KUHAP 1981, draf yang baru disahkan itu dinilai justru memperlemah instrumen pengawasan terhadap tindakan upaya paksa—mulai dari penangkapan, penahanan, penggeledahan hingga penyitaan.
Sejumlah ahli menilai regulasi ini seperti produk lama dalam kemasan baru, tanpa terobosan berarti untuk memperkuat perlindungan hak asasi manusia.
Pakar Hukum Pidana UGM, Muhammad Fatahillah Akbar, bahkan menyebut RUU tersebut gagal menjawab problem fundamental hukum acara pidana Indonesia.
BERITA TERKAIT :“Tidak ada perbedaan mendasar. Ini kelemahannya. Pembaruan hukum pidana seharusnya menghadirkan penguatan HAM, bukan sekadar mengganti istilah,” kritik Fatahillah.
Menurutnya, kontrol yudisial terhadap tindakan upaya paksa—yang seharusnya menjadi garis pertahanan utama dalam negara hukum—justru makin kabur. Kewajiban adanya keputusan hakim untuk penangkapan dan penahanan, yang sempat dikenal di KUHAP sebelumnya, malah tidak ditegaskan kembali.
“Setiap penangkapan dan penahanan seharusnya melalui keputusan Pengadilan Negeri. Itu justru tidak diakomodasi dalam KUHAP baru,” tegasnya.
Ia juga menyoroti aturan penyadapan yang dinilai setengah hati, padahal Mahkamah Konstitusi secara eksplisit mensyaratkan adanya undang-undang khusus sebagai dasar penyadapan.
Kritik senada datang dari Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, yang melihat pengesahan RUU KUHAP memunculkan reaksi keras publik karena dianggap membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan yang lebih besar.
“Sebagian besar masyarakat bahkan menilai pengesahan RUU KUHAP oleh DPR membuka celah dan potensi penyalahgunaan,” katanya.
Menurut Alfath, penguatan kewenangan aparat tanpa perbaikan alat kontrol hanyalah resep untuk memperdalam ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum. Ia bahkan menilai proses legislasi RUU ini lebih sarat kepentingan politik ketimbang keinginan membenahi hukum acara pidana.
“Ada banyak aktor yang berkepentingan terhadap lolosnya regulasi ini, polisi, jaksa, hakim, hingga komisi DPR terkait,” ungkapnya.
Alfath juga melihat dampak sosial-politik yang tak kalah mengkhawatirkan. Masyarakat kian menjauh dari proses politik karena merasa tidak punya daya mempengaruhi kebijakan. Kerumitan regulasi dan derasnya misinformasi memperparah alienasi publik.
Fenomena ini, menurutnya, adalah bentuk depolitisasi yang membuat warga tampak bebas tetapi sebenarnya semakin jauh dari pendidikan politik yang substantif. Regenerasi aktor-aktor politik yang paham isu hukum dan sosial pun makin sedikit.
“Partisipasi publik jadi dangkal. Banyak yang hanya FOMO dan terjebak arus media sosial,” tambahnya.
Meski demikian, Alfath menegaskan bahwa ruang sipil—meski makin sempit—belum sepenuhnya hilang. Ia menekankan urgensi menghidupkan kembali pendidikan hukum dan politik agar masyarakat memahami hak serta kewajiban sebagai warga negara.