BERAWAL dari berita tentang TNI Angkatan Udara yang meminta PT Angkasa Pura II (Persero) keluar dari Bandara Halim Perdanakusuma mulai hari Kamis 21 Juli 2022. Hal ini tercantum dalam Surat Pemberitahuan Kepada Mitra Usaha Nomor 08.01/02/07/2022/A.0078.
Berita berikutnya yang muncul adalah Melalui surat Nomor 13.01/00/07/2022/A.5305 terbit pada Rabu 20 Juli 2022, PT Angkasa Pura II menyampaikan bahwa rencana pengosongan lahan pada tanggal 21 Juli 2022 sebagaimana disampaikan dalam Surat EGM KC HLP adalah TIDAK BENAR. Rujukannya adalah Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Udara Nomor: KP 1230 Tahun 2022 tanggal 7 Juli 2022. Keputusan tersebut memuat tentang Penetapan Bandar Udara yang Dikelola oleh PT Angkasa Pura II. Intinya menegaskan bahwa PT AP II tidak ingin keluar dan tetap bertahan untuk berada di Halim.
Selanjutnya terdengar kabar lagi bahwa disebut sebut peran AP II akan beralih ke ATS sebuah anak perusahaan dari Lion Air Group. Akan tetapi, tidak lama kemudian muncul penjelasan bahwa PT ATS sudah tidak lagi menjadi bagian dari Lion Air Group sejak tahun 2020. Sementara itu, PT Angkasa Transportindo Selaras atau ATS menjelaskan dengan lantang bahwa pihaknyalah yang berhak dan merupakan pemegang konsesi yang sah dari Bandara Halim Perdanakusuma.
BERITA TERKAIT :Kesimpulan sementara dari semua berita yang beredar itu, (yang tentu saja masih memerlukan klarifikasi lebih lanjut) adalah bahwa Lanud Halim tengah berada dalam pusaran sengketa yang serius dan sekaligus semrawut. Sengketa yang sangat mudah dimengerti sebagai amat berkait dengan soal perebutan lahan yang sangat menjanjikan keuntungan secara finansial dengan cara yang nyaris tanpa memerlukan modal dan atau investasi. Sebuah peluang yang logis dan masuk akal untuk diperebutkan, tidak perduli akan memunculkan kegaduhan yang ribet. Keribetan ini patut diberi judul sebagai Sengketa Lanud Halim.
Sejarah dari Akar Masalah
Pada awal tahun 1970-an International Airport Kemayoran sudah tidak mampu lagi menampung meningkatnya arus lalulintas penerbangan komersial rute dalam maupun luar negeri. Untuk itu direncanakanlah Airport pengganti Kemayoran yang akan dibangun di Cengkareng. Airport ini kemudian dikenal sebagai Bandara Soekarno Hatta.
Sambil menunggu selesainya pembangunan di Cengkareng, maka untuk sementara waktu penerbangan sipil komersial di Kemayoran dipindahkan ke Pangkalan Angkatan Udara, lokasi dari Markas Besar sistem pertahanan udara nasional dan home base dari lebih tiga Skadron operasional unit pelaksana tugas pokok Angkatan Udara di Lanud Halim Perdanakusuma. Sejak itulah maka Lanud Halim sebagai Pangkalan Operasional Angkatan Udara dikenal sebagai Halim Perdanakusuma International Airport. Mulai dari saat itulah pula maka dia dikenal juga sebagai Bandara Halim.
Aerodrome di Cengkareng selesai dan siap di operasikan pada tahun 1985 sebagai Bandara Internasional Soekarno Hatta atau Soekarno Hatta International Airport (SHIA). Logikanya seluruh penerbangan sipil yang merupakan pindahan dari Kemayoran seharusnya boyong semua ke Cengkareng. Karena memang sejak awal perencanaan adalah Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma digunakan untuk 'sementara' yaitu memberikan kesempatan waktu jeda bagi pembangunan sebuah Aerodrome sebagai pengganti Airport Kemayoran di Cengkareng.
Pada kenyataannya hal itu tidak terjadi. Dengan seribu satu macam alasan dan dalih, maka tidak semua operasional penerbangan sipil komersial hengkang dari Halim. Hal ini terjadi, yang mungkin saja ada unsur kenikmatan tersendiri yang diperoleh dengan tetap bercokol di Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Walahualam bisawab. Di sinilah titik awal dari 'ribet' dan semrawutnya penggunaan sebuah Pangkalan Angkatan Udara Republik Indonesia yang didomplengi penerbangan sipil komersial.
Rendahnya sisi perencanaan penerbangan nasional, dalam hal ini atau khususnya manajemen penerbangan sipil komersial, salah satunya dapat dengan amat mudah diikuti pada penyelenggaraan penerbangan Haji misalnya. Pengelolaan penerbangan Haji diselenggarakan dengan cara yang berulang kali berpindah pindah dari Cengkareng ke Halim dan dari Halim ke Cengkareng. Belum lagi bicara soal penentuan Airport Internasional yang jumlahnya mencapai puluhan dan pembangunan Airport Kertajati yang nyaris mubazir serta bangkrutnya banyak Maskapai Penerbangan Nasional. Walau di sisi lain cukup banyak prestasi pembangunan pelabuhan udara di tanah air yang patut diapresiasi.
Berikutnya yang terjadi adalah kombinasi dari gagalnya mengantisipasi lonjakan penumpang dari tahun ke tahun dan tidak konsistennya merujuk pada tahapan perencanaan pengembangan SHIA yang konon sudah memiliki Master Plan, maka terjadilah balada Airport over capacity di Cengkareng.
Puncak kulminasi over capacity terjadi pada bulan Januari 2014, saat muntahan over capacity penerbangan di Cengkareng terpaksa dipindahkan ke Halim. Pemindahan ini disebut dengan terminologi yang agak puitis yaitu Optimalisasi Bandara Halim Perdanakusuma.
Celakanya, pada titik ini ternyata bukan muntahan saja yang dipindahkan akan tetapi lebih dari muntahan, karena ternyata peminat dari pengguna jasa angkutan udara lebih memilih berangkat dan datang dari Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma. Halim yang lokasinya lebih dekat ke pusat kota Jakarta ternyata dilihat banyak Maskapai Penerbangan sebagai memiliki nilai jual yang jauh lebih aduhai dibanding dengan SHIA di Cengkareng.
Maka dimanfaatkanlah adegan Optimalisasi Bandara Halim yang semula hanya akan digunakan sekedar untuk menampung muntahan kelebihan traffic untuk juga menggelar rute baru terutama jalur gemuk penerbangan domestik yang 'basah'. Momen inilah yang menjadi titik awal berikutnya atau tahapan gelombang ke-2 menuju lebih 'ribet' dan semrawutnya pengelolaan Bandara Halim Perdanakusuma.
Dengan demikian maka titik awal ribet di tahun 1985 dan titik kedua keribetan di tahun 2014 itulah yang menghasilkan apa yang kita hadapi sekarang ini di tahun 2022 sebagai sebuah kegaduhan berjudul Sengketa Lanud Halim.
Sengketa Lanud Halim lahir dari rahim perkembangan operasional penerbangan sipil komersial di lahan Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma. Penyelenggaraan operasi penerbangan sipil komersial di Halim berdampak kepada munculnya potensi atau peluang meraih keuntungan finansial tanpa memerlukan banyak modal atau investasi. Sebuah kesempatan atau peluang yang amat sangat wajar mengundang banyak pihak terutama para businessman dari berbagai kalangan (BUMN maupun BUMS – Badan Usaha Milik Sendiri) untuk terjun memperebutkannya. Hasil akhir dari adegan rebutan peluang empuk yang terjadi di tahun 2022 ini adalah sebuah balada bertajuk Sengketa Lanud Halim.
Sementara dalam kurun waktu sepanjang episode kiprah penerbangan sipil komersial di Halim, tidak ada satu pihak pun yang memikirkan tentang betapa banyaknya kerugian yang diderita Angkatan Udara dari kesemua itu.
Kerugian yang sebenarnya beririsan langsung kepada pelaksanaan tugas negara dalam melaksanakan misi pertahanan keamanan khususnya pada bidang mekanisme kerja dari sistem pertahanan udara nasional. Sebuah domain yang sangat tidak menarik, karena sama sekali tidak menjanjikan keuntungan langsung secara finansial. Sebuah domain yang layak diabaikan saja, karena negara terasa berada dalam keadaan aman dan damai. Sebuah sikap yang populer dan sering disebut dengan jargon anak anak pinggir jalan bahwasanya 'Belanda Masih Jauh', ngapain sibuk dengan urusan pertahanan keamanan negara.
Salah satu saja dari sekian banyak kerugian (antara lain terhambatnya pelaksanaan Operasi dan Latihan penerbangan) yang diderita Pangkalan Angkatan Udara Halim adalah, sejak Januari 2022 Lanud Halim terpaksa ditutup berbulan bulan lamanya hanya untuk perbaikan Runway. Dari sejak awal seharusnya diketahui Halim tidak di disain untuk melayani operasi penerbanan sipil komersial yang demikian padat traffic-nya dan demikian berat bobot pesawat terbang yang digunakan nyaris 24 jam.
Lanud Halim yang tidak memiliki Taxiway menyebabkan pesawat terbang sipil komersial di Halim harus menggunakan Runway sekaligus juga sebagai Taxiway. Dengan mudah dapat di duga bahwa Runway Halim menjadi jebol hanya dalam beberapa waktu saja. Itu adalah akibat logis dari penggunaan Lanud Halim sebagai basis pengelolaan penerbangan sipil komersial yang tidak berlandas kepada perencanaan dan persiapan serta koordinasi yang kurang matang. Inilah yang membuahkan hasil yang merupakan bagian dari prahara berjudul Sengketa Lanud Halim.
Pengelolaan Penerbangan Nasional
Pada tingkat nasional hal yang tidak dapat dihindari dalam pengelolaan operasi penerbangan adalah terjadinya friksi antara kepentingan operasional penerbangan sipil dan operasi penerbangan militer. Penerbangan nasional pada dasarnya mencakup kepentingan negara dalam aspek kesejahteraan rakyat sekaligus aspek pertahanan keamanan atau National Security.
Tragedi 9/11 yang terjadi pada tahun 2001 di Amerika Serikat adalah sebuah contoh nyata. Contoh dari bagaimana kepentingan Aviation Safety yang cenderung menomor dua kan aspek Aviation National Security telah menghasilkan tragedi yang memakan ribuan nyawa tidak berdosa dari berbagai kebangsaan dan kerugian materi miliaran dolar. Menara Kembar di NewYork luluh lantak di serang teroris yang datang dan berasal dari operasional penerbangan sipil komersial rute domestik.
Sebenarnya Indonesia pada tahun 1950-an sudah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 5 tahun 1955 mengenai Dewan Penerbangan yang bertujuan terutama sekali untuk mengatur pengelolaan penerbangan sipil dan militer pada tataran Strategis. Dewan ini dipimpin secara bergantian oleh Menhan dan Menhub. Pada penjelasan umum di alinea pertama dari Penjelasan PP no 5 tahun 1955 tentang Dewan Penerbangan itu tertera: Dalam keadaan sekarang dirasa perlu sekali untuk mengkoordinir politik penerbangan sipil dan politik penerbangan militer, yang kedua-duanya tidak terlepas dari politik dan ekonomi negara.
Dalam alinea ke 6 bahkan disebut dengan lebih jelas: Dengan tegas dinyatakan di sini, bahwa hanya soal-soal penerbangan sipil dan militer yang mempunyai hubungan amat erat satu sama lain yang harus dikoordinasikan. Maksudnya ialah untuk menghindarkan pengertian, bahwa instansi penerbangan satunya dapat turut mencampuri soal-soal penerbangan yang khusus termasuk dalam kompetensi instansi penerbangan yang lain atau sebaliknya.
Artnya adalah bahwa Indonesia sejak tahun 1955 sudah mampu mengantisipasi bahwa pada satu ketika kita akan berhadapan dengan banyak masalah rumit dalam pengelolaan wilayah udara nasional, terutama dalam penggunaan untuk kepentingan penerbangan sipil dan sekaligus juga kepentingan penerbangan militer. Artinya lagi adalah bahwa sudah sejak tahun 1955 peristiwa sejenis Sengketa Lanud Halim sudah diramalkan akan terjadi.
Problem Solving
Uraian ini, sama sekali tidak bermaksud atau beranggapan bahwa penerbangan militer adalah lebih penting atau berpendapat bahwa penerbangan sipil komersial tidak boleh menggunakan fasilitas penerbangan militer. Sama sekali tidak demikian adanya. Untuk keperluan nasional sepatutnya seluruh potensi yang dimilliki bagi pengembangan penerbangan dapat dipergunakan bersama bagi kesejahteraan rakyat sekaligus untuk keamanan nasional.
Permasalahannya adalah dunia penerbangan yang sangat teknologis sifatnya memang memerlukan perencanaan yang matang berjangka Panjang serta SDM yang memiliki kompetensi memadai. Manajemen Penerbangan nasional tidak dapat dikelola hanya dengan berorientasi kepada masalah masalah berjangka pendek dengan fokus hanya untuk meraih keuntungan finansial semata.
Sebuah Pangkalan Angkatan Udara seperti Lanud Halim dapat saja digunakan untuk turut serta bersama dalam mengembangkan penerbangan sipil komersial, namun hendaknya dilakukan dengan perencanaan dan persiapan yang matang. Sekarang ini adalah momentum yang sangat tepat untuk melakukannya.
Air Traffic yang masih lesu darah akibat pandemic, kiranya tidak atau belum terlalu memaksa untuk Halim digunakan bagi keperluan penerbangan sipil komersial. Halim dapat di kembangkan agar lebih nyaman dan aman dengan membangun Taxiway dan tambahan Kawasan parkir pesawat terbang serta Terminal Building. Dengan demikian maka penggunaan Lanud Halim sebagai Aerodrome bersama sipil dan militer tidak merugikan kedua belah pihak.
Lahan di Halim masih sangat memadai untuk pengembangan Aerodrome bersama sipil dan militer. Di Halim terdapat tiga lapangan golf yang sangat luas, dan ini terlihat amat sangat berlebihan, sementara di sisi lainnya pangkalan udara Halim hanya memiliki satu runway tanpa taxiway dan area parkir pesawat terbang serta terminal building yang sangat sempit dan semrawut. Intinya adalah untuk menggunakan Pangkalan Angkatan Udara bagi kepentingan pelayanan penerbangan sipil komersial dibutuhkan perencanaan jangka panjang dan persiapan serta koordinasi yang matang.
Kerjasama yang saling menghormati satu dengan lainnya untuk tidak membuahkan hasil Sengketa Lanud Halim sebagai refleksi dari ujud sebuah perebutan lahan yang terlihat dipermukaan sebagai hanya bertujuan untuk memanfaatkan peluang memperoleh keuntungan finansial jangka pendek semata. Meraih keuntungan dengan tanpa banyak memerlukan modal dan investasi.
Halim dapat dikembangkan dengan lebih baik apabila tersusun rencana strategis yang matang serta koordinasi yang seimbang antara semua pemangku kepentingan baik sipil maupun militer. Perencanaan dan koordinasi untuk mecegah kegaduhan atau Sengketa Lanud Halim terjadi.
Di sinilah dibutuhkan keputusan yang tegas berlandas pada rujukan dan referensi yang valid dari seluruh pihak yang kompeten dan professional.
Di sinilah pula dibutuhkan sebuah wadah koordinasi penerbangan sipil militer beranggotakan tim teknis professional di bawah koordinasi Menhub dan Menhan, agar semua masalah penerbangan nasional dapat diputuskan pada tataran yang berlandas pada kejujuran, seimbang dan adil bagi kepentingan negara dan bangsa.
Chappy Hakim
Ketum Pusat Studi Air Power Indonesia; Berpengalaman terbang di Lanud Halim dan Kemayoran sejak tahun 1973 sampai dengan tahun 1992.