ANAK adalah penerus cita-cita bangsa. Agar setiap anak mampu memikul tanggung jawab tersebut, negara mempunyai tanggung jawab asasi untuk menciptakan lingkungan yang ramah dan mendukung yang memungkinkan anak tumbuh dan berkembang dengan optimal baik secara rohani, jasmani maupun sosial.
Sayangnya, pemenuhan hak dan perlindungan anak tampak belum berjalan optimal. Salah satu ancaman serius yang bisa menghambat terwujudnya tumbuh kembang anak secara optimal adalah kepungan asap rokok yang berpotensi menghadirkan ancaman serius bagi tumbuh kembang anak Indonesia.
Berdasar data Riskesdas 2018, 9,1 persen anak Indonesia adalah perokok. Yang lebih memprihatinkan, 23 persen anak-anak tersebut mulai merokok pada usia dini antara 10-14 tahun. Belum cukup di situ, sebagian anak-anak (0,4 persen) bahkan sudah mencoba rokok pada usia 5-9 tahun. Susah rasanya membayangkan anak usia 5 tahun mengakrabi rokok, tapi realitas ganjil tersebut sungguh terjadi di republik ini.
BERITA TERKAIT :RPJMN 2020-2024 merumuskan pembangunan Indonesia 2020-2024 ditujukan untuk membentuk sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing. Dua atribusi tersebut hanya bisa tercapai jika dua kondisi terpenuhi yaitu kesehatan yang prima dan pendidikan yang memadai. Kesehatan dan pendidikan adalah bantalan vital bagi produktivitas dan kapasitas unggul.
Berbagai riset menunjukkan rokok mempunyai potensi ancaman serius bagi keduanya. Hasil penelitian Profesor Laura Anderko, dari Georgetown University, Amerika Serikat, tahun 2010, Anak-anak yang terpapar asap rokok, langsung atau tidak langsung (secondary smoker) sejak dalam kandungan, tiga kali lebih besar kemungkinannya mengalami kesulitan belajar (learning disability).
Temuan tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya di Sidoarjo pada 2012 menemukan sebanyak 73,68 persen anak balita yang menderita gizi buruk hidup dengan orang tua yang perokok.
Rilis hasil survei Global Adult Survey 2021 yang dipublikasi bertepatan momen Hari Tanpa Tembakau Sedunia 2022 (31/05), menunjukkan temuan mencemaskan, 73,3 persen pria muda berusia 24-45 tahun di Indonesia adalah perokok. Nyaris 4 dari 5 pria muda di republik ini adalah perokok. Artinya nyaris sebagian besar anak Indonesia hidup bersama ayah muda yang merupakan seorang perokok.
Survey BPS 2020 menunjukkan di keluarga miskin, pengeluaran uang untuk membeli rokok dan produk tembakau lainnya lebih besar dari belanja makanan pokok (beras). Sifat adiktif mendorong para perokok menempatkan rokok sebagai prioritas dibanding kebutuhan lain, bahkan kebutuhan pokok sekalipun.
Data IDEAS (2022) menunjukkan fakta lebih mengkhawatirkan, di mana 5,6 juta perokok mengaku pernah tidak bisa makan makanan bergizi dan sehat demi rokok. Bahkan, sebanyak 640 ribu perokok pernah tidak makan sepanjang hari demi tetap bisa membeli rokok. Pengeluaran untuk belanja rokok berpotensi merampas hak anak untuk mendapatkan asupan gizi terbaik yang mendukung tumbuh kembangnya.
Mempertimbangkan berbagai data dan fakta keras tersebut, penting:
Pertama, pemberlakukan pelarangan total iklan, promosi, dan sponsor produk Rokok jenis apapun sebagai satu kesatuan upaya dalam melindungi generasi muda sebagai perokok pemula melalui peraturan perundang-undangan. Iklan, promosi, dan sponsor adalah salah satu faktor yang mempunyai pengaruh signifikan atas pertumbuhan perokok baru.
Riset Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) bersama Indonesia Institute for Social and Development (IISD) pada 2017 menunjukkan 98,97 pelajar di Pulau Jawa terpapar iklan rokok, dan 68,91 persen diantaranya terdorong untuk mencoba setelah melihat iklan.
Kedua, Pemerintah khususnya Kementerian Komunikasi dan Informasi sebagai focal point dalam pengaturan penyiaran, sebaiknya dapat mengakomodasi segenap aspirasi yang berkaitan dengan pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok dalam rangka membendung gelombang perokok pemula dan menurunkan prevalensi perokok pemula.
Ketiga, menjauhkan akses rokok dari anak dan remaja dengan memahalkan harga rokok dan melarang penjualan rokok secara eceran.
Keempat, merumuskan regulasi yang mengatur rokok elektrik mengingat semakin tingginya penggunaan terhadap produk tersebut sementara belum ada regulasi yang mengaturnya. Kekosongan regulasi membuat produk rokok elektrik leluasa diedarkan.
Kelima, segera menuntaskan proses Revisi PP 109/2012. Masih tingginya prevalensi perokok, termasuk perokok anak merupakan bukti regulasi yang ada sekarang tak cukup kuat sebagai payung regulasi pengendalian tembakau. Mengingat kedaruratan kondisi yang semakin paripurna, penundaan terhadap pengesahan revisi PP tersebut adalah bentuk pengabaian negara atas perlindungan hak anak.
Keenam, mengaktifkan kembali inisiasi aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Pengendalian Tembakau bukanlah local matter, melainkan fenomena transnasional sehingga menuntut adanya kerjasama internasional untuk mengendalikannya secara komprehensif dan multidisipliner.
Ahmad Fanani
Program Manager Indonesia Institute for Social Development