GANJA medis ramai diperbincangkan dalam beberapa waktu terakhir setelah viral seorang ibu dengan anak penderita Cerebral Palsy mendesak pemerintah segera melegalkan ganja untuk terapi medis.
Bagaimana mengambil manfaat dari ganja seperti memakai, jual beli dan sebagainya, di luar untuk medis?
Penggalian Hukum atau Istinbath Hukmi dari para ulama Mujtahid menyimpulkan bahwa ganja haram secara mutlak. Keharamannya didasarkan pada dalil syar’i yang mengharamkan ganja secara mutlak, baik sedikit maupun banyak.
BERITA TERKAIT :Juga didasarkan pada fakta tidak adanya illat (alasan) keharaman ganja, misalnya karena menimbulkan efek negatif bagi penggunanya. Maka ganja hukumnya haram tanpa melihat lagi apakah menimbulkan efek negatif atau tidak bagi penggunanya.
Dalil syar’i yang mengharamkan ganja *(Arab : al hasyisy)* adalah hadits sebagai berikut :
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ مُسْكِرٍ وَمُفْتِرٍ
Dari Ummu Salamah RA, dia berkata, ”Bahwa Nabi SAW telah melarang setiap-tiap zat yang memabukkan (muskir) dan zat yang melemahkan (mufattir).” (HR Abu Dawud no. 3689 & Ahmad no. 26676).
Para ulama menjelaskan yang dimaksud dengan kata “mufattir” dalam hadits di atas adalah setiap zat yang dapat menimbulkan rasa tenang/rileks (istirkha`) dan lemah/lemas (futuur) pada tubuh manusia. (Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughah Al Fuqoha, hlm. 342; Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, Juz 11 hlm. 35).
Maka dari itu, hadits di atas dapat dijadikan dalil untuk mengharamkan ganja. Imam Ibnu Hajar mengatakan bahwa dalam hadits Ummu Salamah ini terdapat dalil yang secara khusus mengharamkan ganja (al hasyisy) karena ganja dapat menimbulkan rasa tenang (tukhaddir) dan melemahkan (tufattir). (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, Juz 11 hlm. 35; Al Mausu’ah Al Jina`iyyah Al Muqaranah, Juz 1, hlm. 367 & 695).
Keharaman ganja ini menurutnya bersifat mutlak, artinya baik dikonsumsi sedikit maupun banyak hukumnya tetap haram. (Lihat Syekh As Saharanfuri, Badzlul Majhud fi Halli Abi Dawud, Juz 16, hlm. 22).
Sekali lagi, kesimpulannya ganja hukumnya haram tanpa melihat lagi apakah menimbulkan efek negatif atau tidak bagi penggunanya. Kaidah fiqih menyebutkan :
إِنَّ العِبَادَاتَ وَالمَطْعُومَاتَ وَالمَلْبُوسَاتَ وَالمَشْرُوبَاتَ وَالأخْلَاقَ لَا تُعَلَّلُ وَإِنَّمَا يُلْتَزَمُ فِيهَا بِالنَّصِ
"Sesungguhnya hukum-hukum ibadah, makanan, minuman, dan akhlaq tidak didasarkan pada illat, namun hanya didasarkan dan berpegang pada nash saja. (Abdul Qadim Zallum, At Ta’rif bi Hizb At Tahrir, hlm. 55).
Bagaimana kalau digunakan untuk pengobatan atau medis oleh para dokter ahli? Menurut seorang dokter ahli dari UGM menyatakan "Dikatakan ganja medis, istilah medis ini mengacu pada suatu terapi yang terukur dan dosis tertentu. Kalau ganja biasa dipakai, missal dengan diseduh itu kan ukurannya tidak terstandarisasi, tapi saat dibuat dalam bentuk obat bisa disebut ganja medis, itupun ada unsur dalam ganja yang dibuang dan unsur lain yang digunakan".
Secara umum bagaimana hukum menggunakan barang najis atau haram untuk pengobatan? Sebelumnya perlu memahami tentang hukum berobat, bahwa hukum berobat itu adalah Sunnah atau mustajab (empat madzhab sepakat).
Bagaimana dengan barang yang najis atau haram? Jumhur ulama menyatakan bahwa hukumnya makruh artinya menggunakannya boleh, namun lebih utama ditinggalkan, tidak sampai kepada derajat hukum haram.
Ke-makruh-an berobat dengan zat najis atau haram dihasilkan dari kesimpulan adanya dalil kebolehan melalui pembiaran (taqrir) Nabi dan dalil larangan (nahiy) berobat dengan yang haram dari Imam Abu Dawud, termasuk hadis tentang seorang _thabib_ (istilah kita sekarang dokter) yang datang kepada Nabi SAW, Thabib tersebut akan membuat obat dari katak (dhifda’).
Dalam melakukan penggalian hukum atau istinbat hukmi mesti memperhatikan qarinah (petunjuk lain dari dalil yang lain), para ulama menyampaikan qarinah terkait berobat dengan barang yang najis atau haram.
Terdapat tiga qorinah, disebutkannya yaitu, Pertama, Nabi Saw membolehkan dua suku Badui ‘Ukl dan ‘Urainah yang sakit ketika memasuki kota Madinah untuk meminum air kencing unta.
Kedua, membolehkan Abdurrahman bin ‘Auf dan Zubair bin ‘Awwam untuk memakai kain sutera, karena penyakit kulit (gatal-gatal).
Ketiga, membolehkan ‘Arfajah bin As’ad untuk memakai hidung palsu dari emas. Wallahu a'lam bishawab.
M Ali Moeslim
Konsultan Ekonomi Syariah