Berita Indonesia terkini politik, ekonomi, megapolitan , Politik, senayan, nasional balaikota, olahraga, lifestyle dan hiburan ditulis lengkap dan mendalam - Radarnonstop.co

Buruknya Output Kolektif Kita Sebagai Bangsa/Negara 

Tori | Selasa, 21 Juni 2022
Buruknya Output Kolektif Kita Sebagai Bangsa/Negara 
M Hatta Taliwang/Ist
-

KEMARIN saya dapat info seorang anak teman saya lulus di LN sebagai PhD dengan cum laude.  Saya tentu beri ucapan selamat dan bangga. Namun kemudian saya beri catatan dengan tulisan ini.

Banyak bibit bibit bangsa kita yg cemerlang. "Bibit bibit" yang bagus ini sayangnya sering tak terurus dengan baik di dalam "KEBUN INDONESIA." 

Banyak orang pintar tidak pada tempatnya, banyak kader bangsa tak pada posisi yang benar. Banyak orang kurang bermutu justru menempati posisi penting. Ada yang bermutu bekerja bukan untuk negara tapi untuk korporasi multinasional yang tidak langsung berkontribusi untuk kemajuan negara. 

BERITA TERKAIT :
Pilpres 2024: Repdem Hormati Para Pihak yang Tempuh Jalur Konstitusi
Pemilu 2024 Usai: Jangan Ada Provokasi Politik, Sudah Selayaknya Gunakan Jalur Konstitusi

Berbeda misalnya dengan RRC sepuluh tahun yang lalu kita dengar 70 juta kader muda Partai Komunis disiapkan untuk setiap hari memikirkan ide apa yang terbaik untuk kemajuan RRC untuk disampaikan ke Komite Sentral PKC. Itu indikasi sebuah sistem kenegaraan berfungsi.

Itulah urgensi mengapa kami selalu menyuarakan agar sistem kenegaraan kita dibenahi, sistem kepartaian kita direvolusi, sistem birokrasi kita ditata ulang. 

Uraian panjang tentang perbaikan sistem pilpres kita misalnya, sering kami sebar berulang-ulang. Sampai mungkin ada yang bosan.

Output perorangan manusia Indonesia banyak yang bagus. Misalnya banyak yang jadi super kaya raya, jadi profesor, doktor, jenderal dan lain-lain. 

Tapi output kita sebagai bangsa dan negara (output kolektif sebagai bangsa/negara kita buruk) dengan indikator yang sering diucapkan Dr Rizal Ramli sebagai berikut:

"Dulu tahun 60an kita semua di Asia Tenggara dan Asia Timur sejajar. Tingkat pendapatan rakyatnya (Korea, Hongkong, Taiwan, Vietnam, Birma, Thailand, Malaysia, Filipina,Brunei dll) sama dengan Indonesia, sekitar USD100 per kapita. Bahkan RRC saat itu kisaran USD50."

Sekarang Indonesia paling tertinggal. Dibandingkan dengan Malaysia kita sekarang jauh tertinggal dalam hal antara lain tingkat pendapatan, investasi, pariwisata, pengelolaan minyak (Petronas), panjang jalan tol, pendidikan, dan lain-lain. 

Dari tahun 50an sampai dengan 60an Indonesia  sangat dihormati dan disegani di Asia Afrika dan dunia. Sekarang kita dilecehkan di mana mana. 
Lihatlah bagaimana perlakuan terhadap Presiden Indonesia pergi ke AS baru baru ini. Atau lihatlah bagaimana negeri se-upil seperti Singapura memperlakukan warganegara kita UAS dan Anton Permana.

Indonesia tahun 60an meskipun miskin tapi disegani di Asia dan Dunia. Bagaiman Presiden Soekarno dihormati di Asia Afrika bahkan di AS. Angkatan Bersenjatanya termasuk salah satu yang disegani di dunia. Bagaimana Presiden Soeharto dihormati di ASEAN, dikagumi Mahathir Mohammad dan Lee Kuan Yew.

Sekarang dengan Malaysia dalam beberapa segi kita kalah, juga dengan Vietnam yang baru selesai perang 1975 , kita kalah dalam beberapa hal. Apalagi dengan Singapura, Korea, Jepang dan Cina kita kalah menggelepar dalam banyak hal.

Semua itu bukan semata karena pemimpin yang buruk tapi juga sistem kenegaraan kita yang buruk.

Bibit bangsa banyak yang bagus, hanya berkontribusi maksimal untukk diri, keluarga atau perusahaan tapi untuk negara???

Bukan karena mereka tak mau menyumbangkan kehebatannya untuk negara tetapi memang sistem kenegaraannya yang kurang mampu mengakomodir banyak potensi manusia Indonesia.

Sebagai bangsa dan negara kini kita kadang diejek oleh warga Malaysia yang dulu kita bantu dengan guru, dosen dan lain-lain. Pengusaha taksi Malaysia mengejek dengan bahasa yg menyakitkan ketika bicara soal Gojek.

Banyak intelektual kita kurang peduli dengan masalah tidak beresnya Sistem Kenegaraan kita, lebih khusus konstitusi kita. Mereka mengira dengan berjuang hebat di masing masing bidang profesi akan membuat bangsa ini akan maju pesat. Padahal itu cuma sebagian dari upaya mengatasi masalah. 

Hulu masalahnya tetap pada sistem kenegaraan kita yang gagal mengakomodasi, menyalurkan, memberdayakan semua potensi potensi bangsa kita. Lihat sekedar contoh, sistem pilpres kita, sebagai bagian dari sistem kenegaraan kita, banyak kekonyolan, ada pemborosan, kecurangan, ada potensi merusak persatuan. Tapi terus dipertahankan.

Keburukan paling nyata dari Sistem Pilpres kita adalah melahirkan boneka oligarki.

Rendahnya kualitas (intelektual, moral/akhlak) manusia yang menjadi pemimpin negara menjalar ke seluruh jaringan sistem kenegaraan. Mempunyai daya rusak masif bagi bangsa/ negara.

Tak berfungsinya MPR RI sebagai instusi yang oleh pendiri negara dimaksudkan utk mengontrol kekuasaan eksekutif, membuat kekuasaan eksekutif sesuka hati memutuskan hal hal yang merugikan rakyat. Seperti lahirnya produk produk UU yang membela/ melindungi kepentingan oligarki

Itu antara lain output dari sistem kenegaraan yang buruk yang kami maksud.

Memang banyak ide dan pikiran bagus yang dilontarkan intelektual kita untuk kemajuan dan perbaikan bangsa kita. Tapi ide atau pikiran bagus itu seperti kain perca yang terlepas bebas tanpa tahu cantolannya untuk masuk menjadi pengisi sistem apakah akan jadi bed cover, taplak, sprei, sarung bantal, atau baju.

Banyak ide ide bagus dari intelektual kita melayang tanpa tahu akan mendarat kemana. Itu karena bicara tidak dalam kerangka (mengisi/ memperkuat) sistem. 

Seandainya semua ide bagus itu dipersembahkan untuk memperbaiki dan penguatan sistem kenegaraan, dan intelektual kita mau dengan sabar dan tekun terjun ke wilayah detail. Bila perlu sampai ke konsep naskah redaksional UUD dan mau memperjuangkan secara konsisten, maka sudah banyak kemajuan yang kita capai dalam memperbaiki sistem ketatanegaraan kita. 

Yang terjadi sebagian intelektual membawa masalah makin ke langit atau hanya mengambang dan tak mendarat ke wilayah nyata. Padahal banyak masalah hanya selesai di wilayah nyata alias injak bumi.

Dengan kata lain, terlalu banyak berhamburan sampah sampah ide dan hanya sedikit yang kongkrit kita perbuat dalam kerangka berjuang memperbaiki sistem ketatanegaraan kita. Sehingga kita menjadi bangsa yg tidak produktif secara kolektif meskipun mungkin secara individual banyak yang produktif. 


M.Hatta Taliwang. 
Koordinator Grup Konstitusi