RN - Krisis ekonomi global lagi mengintai. Beberapa negara maju seperti Amerika Serikat (AS)
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sudah membeberkan ancaman baru buat ekonomi dunia.
"Seluruh dunia trennya bergeser, dari masalah penyakit jadi masalah keuangan yang berimbas ke sosial politik," ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan DPD, Selasa (7/6/2022).
BERITA TERKAIT :Menurut Sri Mulyani selama ini imbas pandemi COVID-19 telah menekan masyarakat, terutama kalangan menengah ke bawah, dan UMKM. Kini, ancaman baru itu justru menekan korporasi dan sektor keuangan.
Masalah pada sektor keuangan akan muncul bila Amerika Serikat sebagai raksasa ekonomi menerapkan kebijakan moneter berupa kenaikan suku bunga. Alhasil, posisi mata uang dolar, yang selama ini banyak digunakan di seluruh dunia, menguat.
Di sisi lain imbal hasil obligasi US Treasury pun akan naik. Nah, dampaknya ke Indonesia akan ada arus modal asing ke luar negeri. Hal itu bisa menaikkan biaya untuk surat utang yang diterbitkan pemerintah. Alhasil bila pemerintah ingin mencari dana ke luar negeri biayanya akan makin mahal.
"Kalau dolar dan US Treasury naik akan ada capital outflow, modal asing mereka keluar dari Indonesia. Hal ini juga akan menekan harnga surat berharga negara dan yield-nya otomatis akan naik," papar Sri Mulyani.
Sri Mulyani menambahkan kenaikan suku bunga ini juga bisa memperlambat ekonomi, bahkan berujung pada resesi. Fenomena stagflasi ekonomi menurutnya bisa saja menghantui dunia dan juga Indonesia.
"Kombinasi inflasi tinggi dan tekanan pengetatan kebijakan moneter adalah munculnya fenomena stagflasi yaitu inflasi tinggi yang kemudian direspons kebijakan pengetatan membuat resesi atau stagnasi ke perkonomian, ini yang harus diwaspadai," jelas Sri Mulyani.
Diketahui Federal Reserve memprediksi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) pada kuartal II-2022 menurun.
Saat ini sudah terjadi kenaikan harga pangan dengan parah. Misalnya, saat pandemi harga daging ayam ukuran besar dibanderol US$ 7 atau Rp 100.800 (kurs Rp 14.400) dan sekarang harganya bisa sampai US$ 13 atau Rp 187.200.
Di supermarket 99 Cent, selama pandemi harga rata-rata barang dibandrol 99 sen, dan paling mahal US$ 2,99 atau Rp 43 ribu. Sekarang harga barang termurah di toko itu jadi US$ 1,99 sampai US$ 7,99.
Jika itu terjadi, ekonomi Negeri Paman Sam terancam resesi. Berdasarkan pelacak gross domestic product (GDP) milik Federal Reserve, GDPNow Fed Atlanta, menunjukan pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal II hanya 0,9%.
Mengutip dari CNBC, Rabu (8/6/2022) Sementara, pada kuartal I-2022 ekonomi AS hanya tumbuh 1,5%. Pertumbuhan yang menurun dua kuartal berturut-turut merupakan kriteria resesi.
Cara kerja GDPNow, mengikuti data ekonomi AS secara real time dan menggunakannya untuk memprediksi arah ekonomi.
Data hari Selasa, dikombinasikan dengan rilis terbaru lainnya. Kemudian, menghasilkan model yang menurunkan perkiraan pertumbuhan 1,3% pada 1 Juni menjadi prospek baru untuk kenaikan 0,9%.
Rincian hasil dari GDPNow, pengeluaran konsumsi pribadi AS yang biasanya 70% dari produk domestik bruto mengalami penurunan menjadi 3,7%. Angka itu juga turun dari perkiraan sebelumnya 4,4%.
Lalu, investasi domestik swasta bruto riil sekarang diperkirakan tumbuh 8,5%, dari sebelumnya 8,3%. Defisit perdagangan AS dengan mitra global turun menjadi US$ 87,1 miliar pada bulan April, masih merupakan jumlah yang besar menurut standar historis.
Kepala ekonom di perusahaan konsultan RSM, Joseph Brusuelas memprediksi ekonomi AS akan melambat dan hanya bisa tumbuh 1,8%.
"Saat ini, sepertinya pembicaraan tentang resesi adalah cerita 2023. Bukan tahun ini. Kita perlu melihat guncangan masa depan pada siklus bisnis. Perasaan saya adalah ekonomi akan melambat, tetapi hanya benar-benar kembali ke tingkat pertumbuhan tren jangka panjang 1,8%," jelasnya.
Sementara, Biro Riset Ekonomi Nasional AS atau National Bureau of Economic Research (NBER) mengatakan tidak selamanya pertumbuhan ekonomi turun dua kuartal berturut-turut akan resesi.
"Sebagian besar resesi yang diidentifikasi oleh prosedur kami terdiri dari dua atau lebih kuartal berturut-turut dari penurunan PDB riil, tetapi tidak selamanya," kata NBER di situsnya.