RN - Polemik pencairan jaminan hari tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan saat peserta berusia 56 tahun saling lempar. Pihak Istana Negara enggan menjawab soal JHT.
Polemik itu berasal dari Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2 Tahun 2022 yang diterbitkan Menaker Ida Fauziyah.
Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko enggan berkomentar terkait hal itu. Dia menyerahkan persoalan tersebut ke Ida.
BERITA TERKAIT :"Mohon langsung ke Menakertrans," kata Moeldoko, Kamis (17/2).
Sementara itu, Ida dan Kemnaker menyampaikan berat untuk mencabut aturan tersebut. Mereka memilih menampung semua masukan hingga penerapan aturan pada Mei mendatang.
Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial (PHI dan Jamsos) Kemnaker Indah Anggoro Putri mengatakan aturan tersebut telah direstui Istana.
"Disetujui, ada izin dari Setkab (Sekretaris Kabinet) kok," ungkap Indah pada jumpa pers pers di Kemnaker, Jakarta Selatan, Rabu (16/2).
Sebelumnya, Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 memicu penolakan publik. Aturan itu ditolak karena menyebut pencairan JHT BPJS Ketenagakerjaan baru bisa dilakukan setelah peserta berusia 56 tahun.
Sebanyak 412.059 orang menandatangani petisi di situs web change.org terkait aturan ini. Mereka menuntut pemerintah mencabut Permenaker Nomor 2 Tahun 2022.
Selain itu, elemen buruh juga berdemonstrasi di Kantor Kemnaker, Jakarta, Rabu (16/2). Selain menuntut pencabutan aturan, buruh juga meminta Presiden Jokowi mencopot Ida Fauziyah dari jabatan Menteri Ketenagakerjaan.
Kritik Puan
Ketua DPR RI Puan Maharani ikut mengkritik Permenaker Nomor 2 tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT). Permenaker tersebut mensyaratkan JHT baru bisa dicairkan saat usia pekerja 56 tahun.
Puan mengakui, kebijakan itu sesuai peruntukan JHT. Namun tidak sensitif pada kondisi masyarakat saat ini.
“Perlu diingat, JHT bukanlah dana dari Pemerintah, melainkan hak pekerja pribadi, karena berasal dari kumpulam potongan gaji teman-teman pekerja, termasuk buruh,” kata Puan, Senin (14/2).
“Kebijakan itu sesuai peruntukan JHT, namun kurang sosialisasi dan tidak sensitif terhadap keadaan masyarakat khususnya para pekerja,” sambungnya.
Puan menilai, Permenaker yang baru dikeluarkan ini memberatkan para pekerja yang membutuhkan pencairan JHT sebelum usia 56 tahun. Apalagi dalam kondisi pandemi Covid-19, tak sedikit pekerja yang kemudian dirumahkan atau bahkan terpaksa keluar dari tempatnya bekerja.
“Banyak pekerja yang mengharapkan dana tersebut sebagai modal usaha, atau mungkin untuk bertahan hidup dari beratnya kondisi ekonomi saat ini. Dan sekali lagi, JHT adalah hak pekerja,” tutur Puan.
Puan menyebut, meski para pekerja yang terdampak PHK (bisa memanfaatkan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), hal tersebut dianggap tidak cukup. Puan menilai, JKP bukan solusi cepat bagi pekerja yang mengalami kesulitan ekonomi.
“Program JKP sendiri baru mau akan diluncurkan akhir bulan ini. Untuk bisa memanfaatkannya, pekerja yang di-PHK harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang prosesnya tidak sebentar,” sebutnya.
Salah satu kriteria bagi penerima manfaat JKP adalah dengan membayar iuran program JKP 6 bulan terturut-turut selama 12 bulan dalam 24 bulan saat masih bekerja. Belum lagi dana yang diterima pun tidak bisa langsung seperti layaknya JHT.
“Lantas bagaimana dengan pekerja yang kemudian mengalami PHK untuk 24 bulan ke depan dan membutuhkan dana? Mereka tidak bisa langsung menerima manfaat JKP, tapi juga tidak bisa mencairkan JHT,” tutur Puan.
Mantan Menko PMK ini pun menilai, subsidi atau bantuan sosial dari Pemerintah tidak bisa menjadi jawaban utama untuk masyarakat yang terkena dampak PHK. Selain karena program tersebut belum bisa menjangkau seluruh korban PHK, subsidi dan bansos bukan solusi jangka panjang.
“Padahal masyarakat harus terus melanjutkan hidup. Mereka harus mampu bertahan dengan mencari nafkah untuk menghidupi diri dan keluarganya,” ungkapnya.
Oleh karenanya, Puan meminta agar Permenaker Nomor 02 Tahun 2022 ditinjau kembali. Ia juga mengingatkan Pemerintah untuk melibatkan semua pihak terkait untuk membahas persoalan JHT, termasuk perwakilan para pekerja/buruh dan DPR.
“Dalam membuat kebijakan, Pemeritah harus melibatkan partisipasi publik dan juga perlu mendengarkan pertimbangan dari DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat,” tegas Puan.
Nasib PKB
Di tempat terpisah, Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia's Democratic Policy, Satyo Purwanto mengatakan, penerbitan Permenaker oleh Ida Fauziyah jelas-jelas melukai banyak orang. Imbasnya kata dia, PKB sebagai partai tempatnya bernaung bakal ditinggal para pemilih sebelumnya.
"Kebijakan ngaco, Muhaimin kalau gak tarik tuh menteri dari kabinet, bisa jadi PKB bakal ditinggal banyak orang," ucapnya.
Satyo mempertanyakan landasan kajian yang dilakukan Menaker sebelum membuat kebijakan soap pembatasan umur penarikan Jaminan Hari Tua (JHT).
Sementara itu Komunikolog politik nasional, Tamil Selvan menjelaskan bahwa kebijakan yang diambil oleh menteri ketenagakerjaan terbukti minim kajian dan tidak mengerti psikologi sosial masyarakat saat ini. Sehingga hal ini dikatakan akan mencoreng wajah pemerintah.