RADAR NONSTOP - Pengesahan Perubahan Anggaran DKI Jakarta Tahun 2020 masih menyisakan polemik ditengah masyarakat lantaran diduga ada keterlambatan Rancangan Perubahan Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA-PPAS).
Ketua Koalisi Pemerhati Rakyat Jakarta Baru (Katar) Sugiyanto mengatakan APBD-P DKI Tahun 2020 mempunyai celah untuk digugat karena proses pembahasan KUA-PPAS dianggapnya telah kadaluarsa. Menurutnya, keterlambatan tersebut bukan persoalan sederhana. Ia menilai hal itu adalah sebuah kesalahan fatal.
"Keterlambatan pembahasan rancangan perubahan KUA-PPAS sangat fatal lantaran baru dimulai pada tanggal 20-21 Oktober 2020. Sedangkan batas waktu persetujuan bersama Gubernur Anies Bawesdan dan DPRD DKI Jakarta tentang Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) harus sudah tercapai paling lambat pada tanggal 30 September 2020," katanya dalam keterangan tertulis di Jakarta, Rabu (16/12/2020).
BERITA TERKAIT :"Karena telah kedaluarsa, maka pemprov DKI Jakarta tidak boleh melakukan perubahan APBD untuk tahun anggaran 2020. Seharusnya Anies hanya melanjutkan dan melaksanakan pengeluaran yang dianggarkan dalam APBD tahun anggaran berjalan (APBD 2020)," ungkapnya.
SGY, begitu Sugiyanto biasa dipanggil menjelaskan, batas pengambilan keputusan tentang Raperda yang dilakukan DPRD bersama Kepala Daerah dilakukan paling lambat tiga bulan terakhir. Hal itu disebut SGY berdasar pada aturan perundang-undangan mengenai Pemerintah Daerah dan Pengelolaan Keuangan Daerah.
Seharusnya, lanjut SGY, apabila merujuk kepada Undang-Undang tersebut, Pemprov DKI mengelola pemerintahan daerah menggunakan APBD yang sudah ditetapkan pada tahun berjalan.
"Sebagaimana diketahui bahwa aturan penyusunan perubahan APBD telah jelas dan dapat dilihat pada pasal 317 ayat (1), (2), dan ayat (3) dalam UU N0 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, dan pada Pasal 179 ayat (1), (2) dalam PP No 12 Tahun 2019 Tentang Pengelolahan Keuangan Daerah. Intinya adalah, batas waktu pengambilan keputusan tentang perubahan rancangan perda APBD yang dilakukan oleh DPRD bersama kepala daerah paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir," Jelasnya.
"Dalam ketentuan aturan pada pasal tersebut diatas juga disebutkan bahwa, apabila DPRD sampai batas waktu yang ditentukan, namun DPRD tidak mengambil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan perda tentang perubahan APBD, maka kepala daerah melaksanakan pengeluaran yang dianggarkan dalam APBD tahun anggaran berjalan," lanjutnya.
Lebih lanjut, SGY mengungkapkan publik harus kembali diingatkan terkait perjalanan pengesahan Anggaran Perubahan tersebut. Ia menyebut, Gubernur dan DPRD telah menanda tangani MoU dokumen KUA-PPAS atas APBD-P DKI 2020 dengan nilai plafon sebesar Rp. 63,3 triliun pada tangagal 2 November 2020, esoknya disusun Raperda, kemudian pada tanggal 16 November 2020, disahkan menjadi Peraturan Daerah melalui rapat paripurna.
"Perlu diingat, kesepakatan bersama DPRD DKI Jakarta dan Gubernur Anies Bawesdan tentang nilai plafon sebesar Rp. 63,3 triliun, baru diputuskan dalam rapat paripurna penandatanganan MoU dokumen KUA-PPAS APBD-P tahun anggaran 2020 pada tanggal 2 Nopember tahun 2020. Lalu Anies Bawesdan menyampaikan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Perubahan APBD tahun anggaran 2020 dalam Rapar Paripurna DPRD DKI Jakarta tanggal 3 Nopember 2020," imbuhnya
"Kemudian pembahasan diteruskan dan pengesahan Peraturan Daerah (Perda) APBD-P dilakukan dalam Rapat Paripurna DPRD DKI Jakarta pada tanggal 16 Nopember 2020. RAPBD-P tersebut disahkan dengan nilai Rp. 63.232.806.186.085 termasuk dana pinjaman program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang telah diterima pemprov DKI Jakarta sebesar Rp 3,26 triliun dari pemerintah pusat," lanjutnya.
Sejalan dengan hal tersebut, SGY mengatakan penggugatan tersebut mesti melalui analisis secara komfrehensif. Menurutnya, analisis tersebut akan menemukan dan menentukan siapa yang melakukan kesalahan.
Bahkan, apabila didapati pembiaran oleh Mendagri setelah Mendagri menerima laporan dengan penguatan bukti yang lengkap, Maka Mendagri pun bisa disebut melakukan kesalahan serupa.
"Untuk mengetahui siapa yang melakukan kesalahan, maka harus dilihat dari awal mulai proses pembahasan perubahan KUA-PPAS dilakukan. Dalam hal ini bila Gubernur DKI Jakarta Anies Bawesdan yang melakukan keterlambatan pengajuan KUA-PPAS, maka kesalahan terletak pada Anies Bawesdan. Namun bila DPRD yang melakukan keterlambat membahas perubahan KUA-PPAS, maka masalahnya ada pada DPRD DKI Jakarta," jelasnya.
"Akan tetapi bila telah diketahui terjadi kesalahan pelanggaran peraturan perundang-undangan namun pembahasan tetap dilanjutkan bahkan hingga terbit Peraturan Daerah APBD-P tahun anggaran 2020, maka dapat dikatakan bahwa, Gubernur Anies Bawesdan dan DPRD DKI Jakarta serta Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Republik Indonesia, secara bersama-sama melakukan kesalahan pelanggaran peraturan perundang-undangan," ungkapnya.
Sementata itu, mekanisme penggugatan menurutnya bisa disampaikan kepada Mahkamah Agung (MA) atau Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN). Menurutnya, apabila gugatan tersebut dikabulkan, maka salah satu dampak bagi Pemprov DKI adalah tidak memiliki payung hukum untuk menggunakan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) senilai Rp. 3, 26 triliun tersebut.
"Gugatan dapat disampaikan kepada Mahkamah Agung ( MA ) untuk hal permintaan pembatalan Perda APBD-P tahun anggaran 2020. Atau gugatan dapat diajukan pada Pengadilan Umum atau Pengadian Tata Usaha Negara (PTUN). Apabila gugatan pembatan Perda APBD-P tahun anggaran 2020 dikabulkan, maka akan berdampak buruk bagi Pemprov DKI Jakarta, yaitu tak ada lagi payung hukum untuk penggunaan dana bantuan Pemerintah Pusat, PEN sebesar Rp. 3,26 Triliun," tutupnya.