RADAR NONSTOP - Hingga saat ini Presiden Jokowi belum menandatangani alias teken Omnibus Law Undang - Undang Cipta Kerja.
Pemerintah masih membutuhkan waktu meneliti secara mendalam teknis redaksional Undang - Undang yang gencar mendapat penolakan dari buruh dan mahasiswa itu.
Diketahui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur Presiden punya waktu 30 hari untuk meneken atau tidak meneken suatu UU hasil pengesahan DPR sebelum UU itu berlaku.
BERITA TERKAIT :"Waktunya belum pasti. Yang jelas karena waktunya 30 hari, jadi sabar saja. Dalam waktu dekat," kata Tenaga Ahli Kedeputian Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian kepada awak media, Senin (26/10).
Donny menjelaskan draf UU Ciptaker masih berproses di Istana setelah diserahkan. Istana, ujar Donny, masih akan memeriksa hal teknis dari UU tersebut.
"Saya kira dipelajari, karena Presiden yang menandatangani jadi harus diperiksa apakah ada kesalahan redaksional atau teknis akan dibereskan dulu baru ditandatangan ini soalnya lembar negara," terang dia.
Meski masih ada prosedur pemeriksaan hal teknis yang dijalani, Doony memastikan tidak ada perubahan substansial di UU tersebut. UU Ciptaker masih akan tetap ditandatangani di tengah gejolak di masyarakat. "Substansi Insya Allah tidak ada perubahan," singkat dia.
Pengesahan omnibus law di tingkat parlemen diketahui telah memicu perdebatan luas. Kontroversi menguat menyusul temuan perubahan halaman dan dugaan perombakan substansi. Adapun pendapat ahli di beberapa waktu terakhir menilai bahwa UU Ciptaker cacat secara prosedural.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menyatakan penghapusan 1 pasal dalam Omnibus Law Cipta Kerja usai disahkan dalam sidang paripurna DPR menunjukkan bahwa UU tersebut telah cacat prosedural dan membuatnya menjadi tidak sah.
Untuk membatalkan peraturan itu, kata Bivtri, membutuhkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).
"Secara prosedural ini sudah cacat hukum, cacat prosedural dan membuatnya menjadi tidak sah. Cuma dalam hukum tata negara, tidak sah itu tidak otomatis batal, harus dimintakan pembatalan, bisa ke MK atau kalau presidennya responsif dia perbaiki dulu dengan keluarkan Perppu, karena ini sudah ngaco," kata Bivitri, Jumat (23/10).
Sementara, Juru Bicara Presiden Bidang Hukum Dini Shanti Purwono mengakui ada penghapusan pasal dalam Omnibus Law 1.187 halaman. Yakni, Pasal 46 tentang Minyak dan Gas Bumi. Namun dipastikan Dini perubahan itu merupakan hasil kesepakatan panitia kerja di DPR sebelum pengesahan di paripurna yang ternyata masih tercantum di draf.
"Intinya pasal 46 tersebut memang seharusnya tidak ada dalam naskah final karena dalam rapat panja memang sudah diputuskan untuk pasal tersebut kembali ke aturan dalam UU existing," ujar Dini, Jumat (23/10/2020) lalu.