RADAR NONSTOP- Mantan Kepala Divisi Litigasi Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Robertus Bilitea menegaskan bahwa piutang PT Geria Wijaya Prestige (GWP) telah dijual BPPN melalui Program Penjualan Aset-aset Kredit (PPAK) VI pada tahun 2004.
Penegasan itu disampaikan Bilitea ketika menjadi saksi dalam sidang lanjutan dugaan pemberian keterangan palsu dan penggelapan dengan terdakwa Harijanto Karjadi, bos Hotel Kuta Paradiso, di Pengadilan Negeri Denpasar, Rabu (18/12/2019).
Bilitea juga menguraikan bahwa sebelum dilakukan penjualan piutang melalui PPAK VI tersebut, BPPN telah melakukan sejumlah langkah hukum, yaitu menerbitkan Surat Peringatan yang meminta PT GWP membayar seluruh kewajibannya kepada tujuh bank sindikasi selaku pemberi pinjaman kepada PT GWP.
BERITA TERKAIT :Bilitea dalam kapasitasnya sebagai Kepala Divisi Litigasi BPPN mengakui pihaknya menandatangani Surat Paksa yang di dalamnya menyebutkan secara jelas jumlah piutang PT GWP kepada tujuh bank sindikasi sampai dengan tanggal 9 November 2000. Oleh karena PT GWP pada waktu itu tidak melakukan pembayaran kewajibannya meskipun terhadap aset PT GWP berupa tanah dan bangunan Hotel Kuta Paradiso telah diletakkan sita, maka piutang tersebut dijual melalui PPAK VI.
Dengan terlaksananya penjualan piutang PT GWP tersebut kepada pihak ketiga, maka kemudian dilakukan pengangkatan sita berdasarkan Surat Pencabutan Sita yang dalam konsiderannya jelas menyebutkan adanya tindakan hukum yang dilakukan sebelumnya, yaitu penerbitan Surat Peringatan, Surat Paksa dan Penyitaan, serta pengalihan piutang kepada pihak ketiga.
“Karena itu, kalau piutang yang disebutkan dalam Surat Peringatan dan Surat Paksa adalah piutang kepada tujuh bank sindikasi, dan piutang tersebut sudah dijual berdasarkan PPAK VI, lalu ada utang apa lagi PT GWP kepada kreditur lainnya?,” kata Petrus Bala Pattyona dan Berman Sitompul, kuasa hukum Harijanto Karjadi dalam keterangannya
Di sisi lain, papar mereka, terhadap Perjanjian Kredit No. 28 Tahun 1995 yang menjadi dasar pemberian pinjaman dari tujuh bank sindikasi kepada PT GWP tidak terdapat perubahan maupun addendum apapun, dan tidak terdapat pula ada perubahan nilai piutang yang ditagihkan dan disebutkan dalam Surat Peringatan atau Surat Paksa lainnya.
Dalam sidang sebelumnya, Selasa (17/12), saksi Notaris I Gusti Ayu Nilawati mengaku membuatkan akta Jual Beli Saham No. 10, tanggal 14 November 2011, tetapi yang bersangkutan mengakui bahwa dalam akta tersebut sama sekali tidak terdapat nama terdakwa atas nama Harijanto Karijadi, padahal JPU dalam surat dakwaannya adalah tentang memasukkan keterangan palsu dan penggelapan serta pencucian uang sehubungan dengan jual beli saham dalam akta tersebut.
Petrus dan Berman mengatakan meskipun dalam keterangan lainnya Ayu Nilawati menyebutkan adanya RUPS yang dilakukan oleh pemegang saham PT GWP, ternyata akta RUPS yang dibuat di bawah tangan tersebut drafnya dibuat oleh notaris Nilawati sendiri, dan memang terdapat kesalahan di mana dalam notulen rapat disebutkan adanya persetujuan pengalihan 200 lembar saham, padahal sesungguhnya hanya 20 lembar saham yang dialihkan.
Hal itu hingga saat inipun masih tercatat dalam Minuta Akta Nomor 11 tanggal 14 Nopember 2011 yang di buat di hadapan notaris Ayu Nilawati.
“Itu sebabnya menurut kami, Akta Nomor 11 itupun cacat materiil, apalagi ditemukan banyak kejanggalan di mana diakui oleh notaris Nilawati bahwa salinan akta yang diserahkan ke Depkumham dan kepada PT GWP adalah akta yang di dalamnya tertulis bahwa RUPS dilakukan pada tanggal 18 November 2011, sedangkan yang diserahkan kepada penyidik adalah akta yang tanggal RUPS-nya berubah menjadi tanggal 12 November 2011 serta terdapat tiga coretan sebagai renvoi (perbaikan), sementara dalam bagian akhir akta hanya disebutkan dengan 1 coretan.
“Lalu siapa yang berbohong dalam hal ini?” tanya Petrus dan Berman.