RADAR NONSTOP - Keberatan dengan kewajiban menyediakan 20 persen ruang usaha secara gratis untuk pelaku UMKM. Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) segera mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Agung (MA).p
Tujuannya, agar Peraturan Daerah (Perda) Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perpasaran yang diterbitkan Pemprov DKI Jakarta dicabut.
"Kita ambil judicial review, bukan untuk melawan pemerintah, tapi untuk selamatkan keberlangsungan bisnis mal," ujar Ketua Bidang Hukum dan Advokasi APPBI Hery Sulistyono di Jakarta sebagaimana dilansir Antara, Rabu (11/12/2019).
BERITA TERKAIT :Menurut dia, Perda itu berpotensi membuat semua mal merugi dan tutup yang akhirnya juga dapat berdampak menurunnya penerimaan pajak pemerintah.
"Bukan hanya selamatkan mal, otomatis juga menyelamatkan pendapatan daerah, pajak mal juga besar," ucapnya.
Ia mengemukakan kontribusi pusat perbelanjaan dari sektor pajak terbilang signifikan. Mulai dari Pajak Restoran (PB) sebesar 10 persen, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Reklame, Pajak Retribusi Parkir, Pajak Penerangan Umum, hingga PPh 21 untuk seluruh pegawai atau karyawan di mal yang jumlahnya sangat besar.
"Jika banyak pusat perbelanjaan yang akhirnya tutup karena penerapan Perda No 2 Tahun 2018, tentu kontribusi pajak akan berkurang," katanya.
Ia memaparkan Perda itu memuat sejumlah kewajiban bagi para pengelola mal untuk memberdayakan para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) melalui tiga pola kemitraan yang tercantum dalam Pasal 41 ayat 2, yakni penyediaan lokasi usaha, penyediaan pasokan, dan/atau penyediaan fasilitasi.
Dari tiga pola kemitraan itu, lanjut dia, penyediaan lokasi usaha merupakan pola kemitraan yang wajib dilaksanakan pengelola. Pengelola diwajibkan menyediakan ruang usaha sebesar 20 persen secara gratis untuk pelaku UMKM.
Kendati demikian, Hery Sulistyono mengatakan pihaknya bersama asosiasi lainnya, yakni Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) dan Real Estate Indonesia (REI), tetap berdiskusi dengan Pemprov DKI agar merevisi atau membatalkan Perda itu dan mencari solusi saling menguntungkan (win-win solution).
"Soalnya, jika Perda itu tetap diterapkan, yang bakal terpukul bukan hanya mal, tapi juga para pelaku-pelaku UMKM," katanya.
Tanpa adanya Perda pun, menurut dia, sejumlah pengelola mal saat ini tengah berupaya mengatasi kondisi bisnis ritel yang sedang lesu. Hal ini ditandai menurunnya jumlah pengunjung.
Ketua Dewan Pengurus Daerah Real Estat Indonesia DKI Jakarta Amran Nukman menambahkan perlu ada kesamaan pandangan antara Pemda dan pelaku usaha dalam menjalankan bisnis.
"Perda itu kan ditujukan untuk memperhatikan warga DKI, kami-kami juga warga DKI, namun Perda yang ada itu tidak seimbang. Di satu sisi angkat UMKM, sementara kami sendiri juga butuh berbisnis yang wajar, artinya ada investasi yang telah dikeluarkan dan berupaya untuk mengembalikan investasi yang telah dikeluarkan," ujarnya.
Menurut dia, 20 persen lahan gratis untuk UMKM di mal terlalu besar dan sangat memberatkan pengelola.
"(Sebesar) 20 persen itu kan seperlima luas mal. Bisnis mal kan sewakan tempat, jadi income mal untuk kembalikan investasi yang dulu bakal lebih panjang lagi," pungkasnya.