RADAR NONSTOP - Pencantuman Pasal penghinaan Presiden dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menuai banyak kritik. Selain dinilai inkonstitusional, pasal itu juga berpotensi jadi senjata politik penguasa.
“Bisa ada muatan memukul lawan politik atas perbedaan pendapat,” kata pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, di Jakarta kepada wartawan kemarin.
Menurut dia, kehadiran pasal tersebut kian mengukuhkan tembok antikritik presiden. Jika pasal itu tetap disahkan, masyarakat jadi tidak punya daya kritis. Pasal itu juga seakan-akan melegalkan kepala negara untuk bersikap otoriter.
BERITA TERKAIT :Karena itu, Fickar meminta agar RKUHP ditinjau ulang karena bisa disalahkangunakan oleh penguasa untuk menjatuhkan siapa pun, termasuk lawan politik. Kenadati delik dari pasal itu adalah delik aduan, keberadaannya tetap saja berbahaya.
Fickar juga mengatakan, penerapan pasal penghinaan presiden adalah langkah mundur bagi demokrasi. Apalagi jika dikaitkan dengan Pasal 7A UUD 1945 tentang mekanisme pemakzulan presiden. Dalam pasal tersebut mengatur presiden bisa diganti jika melakukan kejahatan berat, salah satunya korupsi.
Dengan begitu, pasal penghinaan presiden bisa saja digunakan sebagai benteng oleh penguasa untuk menangkis tudingan kejahatan apa pun. Hal ini pula, kata Fickar, yang membuat Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan pasal itu. Akan tetapi, kali ini, beleid tersebut justru dimunculkan kembali.
“(Padahal) norma pasal itu sudah tidak cocok lagi pada negara demokrasi seperti Indonesia,” kata Fickar.
Juru Bicara MK, Fajar Laksono menegaskan, keputusan MK membatalkan pasal subversif harusnya dijadikan rujukan oleh para pembuat undang-undang. Dia pun heran mengapa pasal semacam itu masih dimasukkan dalam RKUHP.
“Norma yang sudah dinyatakan inkonstitusional berarti sudah ditendang dari sistem hukum Indonesia, tidak boleh diada-adakan lagi,” papar Fajar.