Berita Indonesia terkini politik, ekonomi, megapolitan , Politik, senayan, nasional balaikota, olahraga, lifestyle dan hiburan ditulis lengkap dan mendalam - Radarnonstop.co

Ledakan SMAN 72, Cermin Gelap Era Digital

M. RA | Rabu, 12 November 2025
 Ledakan SMAN 72, Cermin Gelap Era Digital
Salah satu korban ledakan di SMAN 72.
-

RN – Tragedi ledakan di SMAN 72 Jakarta bukan hanya mengguncang ruang kelas, tapi juga mengguncang kesadaran publik tentang betapa rapuhnya pengawasan terhadap arus informasi digital di kalangan remaja. Psikolog dan pendiri Personal Growth Counseling & Development Center, Ratih Ibrahim, menilai media sosial kini telah menjadi ‘sekolah bayangan’ tanpa guru, tanpa pagar, dan tanpa aturan jelas.

“Media sosial memberi akses luar biasa luas, dari hal baik sampai yang paling ekstrem, jahat, bahkan berbahaya. Anak bisa menemukan apa pun, termasuk cara melakukan tindakan berisiko,” ujar Ratih, Selasa (11/11).

Ratih mempertanyakan efektivitas pengaturan konten digital yang selama ini lebih banyak wacana ketimbang tindakan.

BERITA TERKAIT :
DPRD DKI Jakarta Dorong Dinas Pendidikan Tingkatkan Pengawasan Di Lingkungan Sekolah
Ledakan SMAN 72, Puluhan Siswa Luka Bakar dan Retak Kepala

“Kominfo sudah berupaya, tapi faktanya sangat sulit. Sebaik apa pun regulasi dibuat, tetap ada celah besar yang dimanfaatkan, seperti yang terjadi di SMAN 72,” katanya.

Menurutnya, kejadian ini tidak bisa disederhanakan sebagai kesalahan sekolah atau keluarga semata. Semua pihak—pendidik, lingkungan, dan terutama pemerintah—harus bercermin bahwa ekosistem digital anak muda saat ini nyaris tanpa rem. Remaja berada di fase pra-dewasa, penuh rasa ingin tahu, dan sangat mudah terpapar konten ekstrem yang masuk deras lewat algoritma media sosial.

“Bayangkan, anak-anak kita bisa belajar hal berbahaya tanpa mencari. Algoritma-lah yang menyuapi. Kita tidak lagi bicara soal pengawasan manual, tapi sistemik,” kata Ratih.

Ia juga menyoroti sisi lain kasus ini, yakni dugaan bullying dan dendam sebagai pemicu tragedi.

“Kekerasan tidak pernah berdiri sendiri. Ia tumbuh dari luka, dan melahirkan kekerasan baru. Ini lingkaran yang tak putus kalau ruang aman di rumah dan sekolah tidak tercipta,” jelasnya.

Namun Ratih juga realistis bahwa orangtua tak bisa disalahkan sepenuhnya. Banyak dari mereka sibuk bekerja, sehingga waktu dengan anak menjadi terbatas.

“Tapi di ruang yang singkat itu, harus ada komunikasi yang bermakna. Harus ada budi pekerti yang ditanamkan, karena pendidikan moral tidak bisa digantikan oleh algoritma,” tegasnya.

Di sisi lain, ia mengapresiasi langkah Pemprov DKI Jakarta yang cepat menggandeng Kementerian PPPA dan Ikatan Psikolog Indonesia untuk memberikan layanan pemulihan trauma bagi para korban. Namun, Ratih mengingatkan bahwa penanganan pasca-tragedi tidak cukup tanpa pencegahan jangka panjang.

 

#Ledakan   #SMAN   #72