RN - Program normalisasi Sungai Ciliwung untuk mengatasi banjir di Jakarta belum bisa digarap. Sebab, beberapa kendala masih terjadi.
Salah satu yang menjadi kendala adalah soal peta lokasi atau penlok ditolak warga. Rencananya, terdapat tiga wilayah yang akan menjadi fokus normalisasi, yaitu Cawang, Pengadegan, dan Bidara Cina.
Gubernur Jakarta Pramono Anung mengatakan, program normalisasi itu merupakan salah satu penanganan jangka menengah untuk mengatasi banjir di Jakarta. Ia mengeklaim, Pemprov Jakarta sudah siap untuk melanjutkan normalisasi Ciliwung.
BERITA TERKAIT :"Setelah lebaran saya akan keluarkan penlok (penentuan lokasi)-nya untuk Ciliwung," kata dia, Kamis (27/3/2025).
Ia menambahkan, pihaknya juga telah berkoordinasi dengan pemerintah pusat terkait penanganan banjir. Bukan hanya untuk penanganan banjir di Jakarta, melainkan juga wilayah Jabodetabek.
Pramono menilai, penanganan banjir memang tidak bisa dilakukan secara parsial. Pasalnya, penanganan harus dilakukan dari hulu hingga ke hilir.
"Maka dengan demikian, mudah-mudahan, dengan penanganan yang sudah dikoordinasikan ini akan menjadi lebih tertata, lebih baik dalam penanganan banjir di daerah Jabodetabek," kata dia.
Sekretaris Dinas Sumber Daya Air (SDA) Provinsi Jakarta Hendri mengatakan, terdapat tiga wilayah yang menjadi fokus pembebasan lahan untuk normalisasi Ciliwung, yakni Cawang, Bidara Cina dan Pengadegan. Adapun bidang tanah yang harus dibebaskan di Cawang berjumlah 411 bidang tanah, Bidara Cina 162 bidang tanah, dan Pengadegan 61 bidang tanah.
Sementara itu, luas lahan yang perlu dibebaskan adalah sekitar 58.946 m2 di Cawang, 13.101 m2 di Pengadegan, dan 57.035 m2 di Bidara Cina. Kendati demikian, terdapat sejumlah kendala untuk melakukan pembebasan lahan. Salah satunya adalah masih ada sebagian tanah yang merupakan tanah garapan.
"Sehingga pembuktian kepemilikanya perlu penelitian yang lebih komprehensif," kata dia, Jumat (7/3/2025).
Hendri menambahkan, kendala lainnya adalah anggaran yang terbatas. Selain itu, sejumlah warga masih ada yang menolak dalam proses pembuatan penlok. "Mereka tidak ingin tanahnya dibebaskan," ujar Hendri.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebelumnya merinci dampak banjir di Jabodetabek. Kota Bekasi mengalami kerugian terbesar dengan total Rp878,6 miliar.
Disusul Kabupaten Bekasi sebesar Rp659,1 miliar dengan tambahan kerugian sebesar Rp20,9 miliar, sehingga total dampaknya mencapai Rp680 miliar.
Selanjutnya untuk Provinsi Jakarta, total kerusakan dan kerugian mencapai Rp1,92 miliar, kemudian Kabupaten Bogor sebesar Rp96,7 miliar, dan Kota Depok senilai Rp28,8 miliar.
BNPB menyebut banjir yang merendam wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) awal Maret 2025 memicu kerugian sosial-ekonomi yang besar, jumlah totalnya mencapai lebih dari Rp1,69 Triliun.
Nilai kerugian tersebut berdasarkan hasil rekapitulasi yang diterima BNPB dalam rapat koordinasi tingkat menteri, membahas penanganan dan pengurangan risiko bencana banjir jangka pendek-menengah di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Jakarta, Kamis (27/3).
"Total nilai kerusakan dan kerugian akibat bencana ini mencapai Rp1.699.670.076.814. Angka ini mencerminkan dampak serius terhadap infrastruktur, perekonomian, dan kehidupan masyarakat di daerah terdampak," kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari dalam keterangannya di Jakarta, Kamis malam (27/3).