RN - Kasus jual beli bahan bakar minyak (BBM) yang melibatkan PT Meratus Line dengan PT Bahana Line terus berlanjut di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Dalam sidang yang berlangsung, pada Senin (6/2/2023) lalu, salah satu saksi yang dihadirkan, Ratno Tuhuteru mengungkapkan, bahwa awal berbisnis dengan PT Meratus Line saat pihaknya bertemu pemilik perusahaan Meratus, Charles Manaro dan selalu lancar-lancar saja.
Namun Direktur Operasional PT Bahana Line ini merasa geram ketika ada kasus ini, apalagi saat Dirut Meratus Slamet Rahardjo dan Auditor Internal Fanny Karyadi selalu berusaha mengkaitkan Direksi Bahana dengan ulah anak buahnya sendiri di Meratus.
BERITA TERKAIT :Bahkan Retno sempat mengancam akan menempuh jalur hukum memperakan Slamet dan Fanny. Akhirnya kesaksian Edi kali ini makin membuka fakta jika semua upaya membidik Direksi Bahana melalui cara pemaksaan dan penyekapan.
"Yang Mulia, kami geram sekali dengan cara Dirut Meratus Slamet Rahardjo dan Fenny Karyadi yang memaksa mengkaitkan kami terlibat, padahal tidak ada bukti sama sekali. Kami sedang mempertimbangkan untuk melaporkan secara Pidana tuduhan tersebut," kata Ratno saat itu.
Menurutnya, secara sengaja PT Meratus terus mengorder minyak tanpa mau membayar sampai senilai Rp 50 miliar. "Selama ini kami melayani sebagai priority customer malah menggerogoti dengan ngemplang utang. Sampai Dirut kami suruh stop melayani karena sudahlah y sampai Rp 50 miliar tidak dibayarkan, " kata Ratno Tuhuteru.
Kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) Estik Dilla dan jaksa Uwais Deffa, Ratno juga menjelaskan, bahwa sebagai Direktur yang membidangi pengawasan, ia tidak pernah mencium adanya ketidak beresan dalam berbisnis dengan PT Meratus Line. Selama dirinya menjabat, hubungan bisnis perusahaannya dengan PT Meratus selalu berjalan dengan baik.
"Selama ini ya baik-baik saja. Apalagi, Meratus ini termasuk customer priority sampai akhirnya tidak mau bayar Rp 50 miliar," ucapnya.
Lebih jauh dijelaskan, bahwa ketidakberesan dengan PT Meratus mulai muncul saat 20 Desember 2021, mereka tak lagi mau membayar tagihan BBM dengan berbagai alasan tetapi terus mengorder. Bahkan pihaknya sempat terus memasok kebutuhan BBM PT Meratus hingga mencapai nilai tagihan sebesar Rp 50 miliar lebih.
"Pada batas itu, Dirut PT Bahana Line, Hendro Suseno sempat marah dan menghentikan pasokan BBM ke Meratus.
Saya juga sempat marah-marah, lah tidak dibayar kok masih disuplai BBM-nya. Tanpa mengindahkan hubungan, kami yang harus juga memikirkan perusahaan terpaksa menghentikan pasokan tersebut," tegasnya.
"Cash flow kami dengan Meratus sekitar Rp 30 miliar sampai Rp 35 miliar saja. Kebiasan dari Meratus tidak seperti itu, karena kemampuan tidak cukup kami stop, ketika kami nagih tahu-tahu seperti itu (bermasalah)," tambahnya.
Masih menurut Ratno, selama ini dalam hal pembayaran Meratus selalu berpatokan pada flowmeter miliknya. Sehingga, dalam perkara ini dapat timbul Purchasing Order (PO) dua kali. Pertama sifatnya order estimasi, yang kedua berbasis catatan riil dari flowmeter PT Meratus.
"Meratus berpatokan pada masflowmeternya dia, jadi dia akan bayar sesuai masflowmeter sesuai dengan angka yang diterima. Semua pakai standar Dia tapi tetap tidak mau bayar," ujarnya.
Sementara pada sidang yang berlangsung, Jumat (10/3/2023), saksi sekaligus terdakwa dalam kasus ini, Edy Setyawan, membongkar kembali perkara penyekapan dirinya oleh Direktur Utama (Dirut) PT Meratus Line Slamet Rahardjo.
Menurutnya, penyekapan itu dilakukan untuk memaksa saksi mau menuduh Direksi Bahana terlibat dalam penggelapan BBM tersebut. "Tampaknya upaya dan motif ini sebagai rangkaian untuk alasan PT Meratus tidak membayar utang Rp 50 miliar ke PT Bahana Line," ucapnya.
Diketahui, Direktur Utama (Dirut) PT Meratus Line, Slamet Raharjo pernah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan penyekapan Edi Setiawan yang tak lain adalah karyawan dari perusahaan pelayaran PT Meratus Line.
Penetapan Slamet sebagai tersangka terungkap dalam surat Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) dengan nomor B/622/SP2HP.4/VIII/RES.1.24/2022/RESKRIM yang dikeluarkan oleh Polres Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Hanya sampai sekarang tidak jelas ujung kasus tersebut.
Pernyataan Edi itu lantas dipertegas oleh Kuasa Hukum David dkk, Syaiful Maarif yang meminta ketegasan soal siapa pihak yang melakukan penyekapan pada dirinya itu, dan Edi dengan gamblang menjawab jika yang melakukan itu adalah Dirut PT Meratus Line Slamet Raharjo dan Auditor Internal Feni Karyadi. “Disekap lima hari oleh Pak Slamet (Dirut) dan Feni (Auditor Internal PT Meratus Line),” katanya.
Ditanya apakah hanya dirinya yang disekap? Edi menjelaskan, ia tidak tahu pasti. Akan tetapi, saat itu ia lalu dikumpulkan bersama dengan kawan-kawan lainnya. “Waktu pertama kali dikumpulkan mengaku sebelumnya dipisah-pisah, tapi apakah seperti saya (disekap), saya tidak tahu, yang jelas saya diintimidasi,” ujarnya.
Soal beberapa surat pernyataan yang menyudutkan manajemen PT Bahana Line, Edi menjelaskan bahwa saat itu situasinya mendapat tekanan dan pemaksaan. Apalagi, saat penyekapan terjadi, PT Meratus Line juga melibatkan oknum polisi dan oknum TNI. Ia menyebut jika dirinya dipaksa membuat surat pernyataan dan isinya didikte oleh seseorang.
“(Waktu pemeriksaan ada tni dan polisi?) Ada yang bertanya, angkatan laut itu yang memaksa. Soal buat pernyataan saya ditekan karena ada yang mendikte,” ujarnya.
Soal penentuan harga BBM hasil penggelapannya, diakui tidak ada campur tangan dari petinggi manajemen PT Bahana Line. Sebab, selama ini harga ditentukan oleh KKM dan dibayarkan oleh terdakwa David dan Dodi saja. “Tidak pernah ketemu pimpinan Bahana, hanya bertemu dengan (terdakwa) David dan Dodi. Yang menentukan harga adalah KKM,” ungkapnya.
Dalam kesaksiannya Edi juga mengungkapkan penerimaan uang hasil jual beli BBM selama ini tidak pernah diterimanya dari kantor Bahana tetapi dari luar.