RN - Jakarta Content Week kembali hadir tahun ini untuk ketiga kalinya.
Festival pelaku industri kreatif di Asia Pasifik itu diinisiasi Yayasan 17000 Pulau Imaji bekerja sama dengan Frankfurter Buchmesse (FBF).
Jaktent berlangsung pada 11-13 November di segala area Taman Ismail Marzuki, Ruang Belajar, Ruang Berkarya, Teater Wahyu Sihombing, Galeri Emiria Soenassa, dan Teater Sjuman Djaja.
BERITA TERKAIT :Menghadirkan sejumlah narasumber seperti Alvinta Purba (General Manager Jaktent 2022), Claudia Kaiser (VP Frankfurter Buchmesse), Mayumi Haryoto (Co-Founder @bacapibo), Diaz Hensuk (Sekretaris Jenderal Asosiasi Design Grafis Indonesia/ADGI)
“Jaktent programnya banyak, mudah-mudahan bisa memberikan opportunity baru, ide-ide baru bagi industri kreatif di Indonesia khususnya,” ucap Alvie Purba saat jumpa pers, kemarin.
Jaktent tahun ini mengusung tema 'Collabrate' yaitu kombinasi dari kolaborasi dan kalibrasi. Di sini ajang bertemunya para pegiat di industri kreatif di bidang publishing, kuliner, fashion, kerajinan, film, design, games, digital startup, cosplay, dan media lainnya.
“Kita ingin lebih menunjukkan lagi artinya proses kolaborasi atau bentuk festival secara offline, dan bagi Jaktent secara off line ini tahun pertama setelah dua tahun terakhir ini festival secara online,” ungkap Alvie.
Harpan menambahkan, melalui festival ini ingin lebih banyak menaungi komunitas-komunitas di industri kreatif, membuka ruang bertukar ide, pengalaman, berdiskusi dan perkembangan teknologi.
Jaktent juga menghadirkan pameran ilustrasi anak yang digelar PiBo di gedung Ali Sadikin, area TIM. "Kompetisi ini mengangkat tema inklusivitas dan keberagaman. Tahun ini kami ada banyak konten dengan tema tersebut, sebagai representasi dari kaum minoritas yang tabu dan kurang dikulik. Jadi itu tema yang kami angkat dari kompetisi ini," kata perwakilan PiBo, Mayumi.
Tak hanya pameran ilustrasi anak saja, namun PiBo juga menerbitkan berbagai buku anak. Konten yang dihadirkan terbilang berbeda karena menghadirkan berbagai tema yang sulit dan tak pernah ada dalam industri perbukuan anak. "Misalnya, pembahasan mengenai pendidikan seks, bullying sampai emosi-emosi yang sulit diungkap," tutur Mayumi.