RN - Sebagai tokoh pewayangan, tokoh Karna diceritakan berbeda dengan tokoh-tokoh lainnya seperti para Kurawa maupun Pandawa.
Ia bertempur di pihak Kurawa meski bukan seorang Kurawa. Ia merupakan anak Kunthi meskipun bukan bagian dari Pandawa.
Goenawan Mohamad, selaku penulis lakon dan sutradara, menaruh perhatian khusus terhadap tokoh ini. Baginya, Karna bukanlah siapa-siapa, bukan dari kalangan bangsawan dan juga tidak perkasa. Sisi minoritas dalam diri Karna inilah yang diharapkan dapat memantik empati bagi siapa pun yang mendengar kisahnya. Seorang kesatria dari golongan minoritas yang mendambakan status bangsawan.
BERITA TERKAIT :“Ini (Surat-Surat Karna) adalah pentas yang bagus dan sudah 11 tahun lamanya tidak dipentaskan. Karna ini kan manusia yang tidak perkasa, tidak dalam golongan manapun. Dia minoritas dalam minoritas. Sehingga kita harus punya empati. Dia anak rakyat yang ingin menjadi bangsawan.” ujar Goenawan.
Goenawan menafsirkan kisah Karna dengan memanfaatkan naskah Jawa Kuno, cerita tentang nasib tragis anak 'rahasia' Kunthi; ibu dari para Pandawa–Arjuna, Bima, dan Yudhistira–tersebut. Dalam Perang Bharatayudha, Karna berada di pihak Kurawa yang akan bertempur melawan Arjuna.
Sosoknya begitu misterius, asal usulnya tidak jelas. Ia lahir sebelum kelima Pandawa dan hidup jauh dari sorotan keluarga kesatria, ia diasuh oleh keluarga dari kasta Sudra yang merupakan seorang kusir kereta para bangsawan. Karna tidak tahu bahwa dia adalah seorang anak bangsawan karena ia dibuang setelah ia dilahirkan, ia dipisahkan secara paksa tanpa sepengetahuan Kunthi, ibunya.
Cerita ini dikemas dengan menggunakan sudut pandang empat tokoh yakni Karna, Radha; ibu yang mengasuh Karna, Kunthi; ibu yang melahirkan, dan Parashurama; guru yang melatih dan memberikan pengetahuan menceritakan kisah sang kesatria misterius tersebut.
Sebelas tahun lalu, pada 2011, Surat-Surat Karna pernah dipentaskan di Teater Salihara pada 17-20 November. Berbeda dengan pementasan sebelumnya, pada pertunjukan kali ini produksi Surat-Surat Karna akan dipentaskan ala teater Brecht yakni menggunakan metode dramaturgi berdasarkan pada ide Bertold Brecht, seorang tokoh teater Marxis terkemuka di tahun 1930-an.
Hendromasto Prasetyo, kurator Teater Komunitas Salihara, mengatakan bahwa metode Brechtian yang digunakan dalam pertunjukan ini mengusung gaya pemanggungan di mana secara sengaja memperlihatkan kepada penonton bahwa apa yang dipresentasikan di atas panggung adalah peristiwa yang kontras dan berjarak dengan realitas keseharian. Metode ini sangat berbeda dengan ala realisme Stanislavski yang mengejar kewajaran demi menyakinkan penonton lewat pendekatan sehari-hari.
“Tidak seperti realisme ala Stanislavski yang mengejar kewajaran demi menyakinkan penonton hingga memerlukan kedekatan dengan kenyataan sehari-hari, Brechtian justru secara sengaja menuntun audiens agar sadar bahwa presentasi di atas pentas adalah peristiwa panggung yang berjarak lagi kontras dengan realitas keseharian. Dari sana, pertunjukan di jalan Brechtian diharapkan mampu mengetuk kesadaran penonton dan mengubah kenyataan,” terangnya.
Surat-Surat Karna akan dimainkan oleh sejumlah tokoh seperti Landung Simatupang sebagai Parashurama, Ruth Marini sebagai Kunthi, Syam Ancoe Amar sebagai Karna, dan Rebecca Kezia sebagai Radha. Dipentaskan di Teater Salihara, 20 November 2022 pukul 16.00 dan 20.00 WIB .
Pementasan ini akan dimainkan dalam durasi 90 menit menyajikan sudut pandang baru terhadap tokoh Karna yang jarang disorot dalam kisah-kisah pewayangan pada umumnya.