RN - Ombudsman RI menemukan fakta jumlah kendaraan bermotor di Indonesia mencapai lebih dari 133 juta unit pada tahun 2019. Data itu terangkum dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS).
Demikian disampaikan Anggota Ombudsman RI (ORI) Hery Susanto melalui keterangan persnya di Jakarta, dikutip hari ini.
Ia mengatakan bahwa jumlah kendaraan selalu naik tiap tahun. Pada tahun 2019, jumlah kendaraan naik bertambah 7.108.236 unit atau meningkat 5,3 persen menjadi 133.617.012 unit dari tahun sebelumnya sebanyak 126.508.776 unit. Jumlah kendaraan di tahun 2018 naik 5,9 persen dari tahun 2017 sejumlah 118.922.708 unit.
BERITA TERKAIT :Sementara, mobil jenis penumpang menyumbang 11,6 persen dari total kendaraan di Indonesia. Jumlah mobil penumpang mencapai 15.592.419 unit pada tahun 2019. Jumlah ini naik dari jumlah di tahun 2018 sebanyak 14.830.698 unit dan 2017 mencapai 13.968.202 unit.
"Sepeda motor merupakan kendaraan yang paling banyak digunakan masyarakat di Indonesia. Bahkan, jumlahnya terus bertambah tiap tahun. Sampai tahun 2019, jumlah sepeda motor yang ada di Indonesia mencapai 112.771.136 unit. Di tahun 2018, jumlah sepeda motor tercatat 106.657.952 unit, dan pada 2017 sebanyak 100.200.245 unit," papar Hery.
Selain motor dan mobil penumpang, data Perkembangan Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis yang dihimpun dari Korps Lalu-lintas Polri juga meliputi mobil barang.
Jumlah mobil barang yang ada di Indonesia tahun 2019 sebanyak 5.021.888 unit atau 3,7 persen dari total kendaraan. Sementara, jumlah bus di tahun 2019 mencapai 231.569. Proporsinya sekitar 0,17 persen dari total kendaraan di Indonesia. Pada 2018 bus berjumlah 222.872 unit, sedangkan 2017 sebanyak 213.359 unit.
Ini berarti secara jumlah, sepeda motor jauh lebih banyak dibanding mobil pribadi atau mobil penumpang. Sementara konsumsi BBM bersubsidi secara volume memang dominan dinikmati oleh jenis mobil pribadi atau mobil penumpang.
"Maka pembatasan BBM bersubsidi jenis pertalite hanya untuk sepeda motor dan angkutan umum itu sudah tepat. Mobil pribadi disarankan gunakan BBM nonsubsidi jenis pertamax maupun jenis lainnya, ini yang penting agar dimasukkan dalam revisi Perpres 191/2014 itu," tambahnya.
Kementerian Keuangan merinci, dari total pertalite yang disubsidi dengan nilai Rp93 triliun, sebesar 80 persen atau Rp80 triliun-nya dinikmati oleh masyarakat kelas menengah atas. "Dari Rp502,4 triliun untuk solar, yang menikmati paling banyak adalah 40 top rumah tangga tertinggi, orang-orang terkaya, Pertalite juga sama," kutipnya.
Demikian juga dengan solar, dengan nilai subsidi mencapai Rp143 triliun, ternyata dari catatan Kementerian Keuangan 89 persen atau sekira Rp 127 triliun dinikmati oleh dunia usaha dan orang kaya.
Kalau pertalite dari kuota 23 juta kilo liter, maka 15,8 juta kilo liter yang menikmati orang kaya. Hanya 3,9 juta kilo liter yang dinikmati masyarakat terbawah.
Solar juga sama, dari kuota 15 juta kilo liter itu hanya kurang dari 1 juta kilo liter yang dinikmati kelompok miskin.
Herry berumpama jika saat ini dengan anggaran Rp502,4 triliun untuk subsidi dan kompensasi melalui subsidi barang, sedangkan yang menikmati orang mampu. "Sama aja artinya saat ini pemerintah sedang melakukan subsidi kepada orang mampu," terangnya.
Anggaran jumbo dikhawatirkan untuk subsidi dan kompensasi tersebut tidak akan cukup lagi. Penyebabnya, kuota BBM bersubsidi pertalite dan solar yang semakin menipis.
Kuota volume pertalite yang ditetapkan sebesar 23 juta kilo liter, hingga akhir Juli 2022 sudah terpakai hingga 16,4 juta kilo liter. Sehingga saat ini hanya tersisa 6,6 juta kilo liter yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Juga diperkirakan kuota ini akan habis pada akhir September 2022.
Hal yang sama juga untuk kuota volume solar, di mana kuota yang ditetapkan mencapai 15,1 juta kilo liter, hingga Juli 2022 volumenya sudah terpakai 9,88 juta kilo liter. "Sehingga saat ini kuotanya hanya tersisa kurang lebih 5,22 juta kilo liter dan akan habis pada Oktober 2022 ini," hitungnya.