RN - UNDP melaporkan gelombang krisis seperti COVID-19 dan perang di Ukraina menghambat pembangunan manusia di dunia. Laporan tersebut belum menghitung dampak krisis pangan dan bahan bakar.
Untuk pertama kalinya dalam 32 tahun, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) selama dua tahun berturut-turut antara 2020 dan 2021, mengalami kemunduran, lapor UNDP.
Indeks tersebut mengukur kualitas hidup seorang manusia, termasuk di antaranya tingkat harapan hidup, level pendidikan dan akses terhadap kebutuhan dasar.
BERITA TERKAIT :Pembangunan manusia telah jatuh kembali ke tingkat tahun 2016, menyebabkan kemunduran sebagian besar kemajuan menuju pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Kemunduran ini hampir sama rata karena lebih dari 90 persen negara mencatat penurunan skor IPM mereka pada 2020 atau 2021. Dan, lebih dari 40 mengalami penurunan di kedua tahun tersebut, menandakan bahwa krisis menjadi semakin parah di banyak negara.
"Penurunan ini menandakan bahwa usia kita semakin pendek, tingkat pendidikan kita berkurang dan pendapatan kita menurun,” kata Direktur UNDP, Achim Steiner, kepada AFP.
"Cuma dengan melihat tiga parameter ini, Anda bisa merasakan betapa banyak orang mulai merasa frustasi dan khawatir terhadap masa depan,” imbuhnya.
Sementara itu, nilai IPM Indonesia tahun 2021 adalah 0,705 yang menempatkan pada kategori pembangunan manusia tinggi, peringkat 114 dari 191 negara dan wilayah. Tahun sebelumnya, nilai IPM Indonesia adalah 0,709 sehingga ada penurunan yang sedikit sebesar 0.004.
Indonesia berhasil masuk dalam kategori negara pembangunan manusia yang tinggi untuk tiga tahun berturut-turut. Kemajuan IPM Indonesia dari tahun 1990 hingga sekarang sebesar 34 persen.
Harapan hidup Indonesia tercatat di 67,6 tahun. Selanjutnya, lama harapan bersekolah adalah 13,7 tahun yang artinya setiap anak yang lahir di Indonesia saat ini secara realistis bisa mengenyam pendidikan hingga tahun pertama di tingkat perguruan tinggi. Sementara itu, PNB perkapita (PPP) adalah 11,466 dolar AS.
Meskipun beberapa negara mulai bangkit kembali, pemulihan tidak merata dan parsial, semakin memperlebar kesenjangan dalam pembangunan manusia. Amerika Latin, Karibia, Afrika Sub-Sahara dan Asia Selatan terdampak parah.
"Dunia berjuang untuk menanggulangi krisis yang berturut-turut. Kita telah melihat dengan krisis biaya hidup dan energi bahwa, meskipun ada dorongan untuk berfokus pada perbaikan cepat seperti subsidi bahan bakar fosil, taktik bantuan jangka pendek menunda perubahan sistemik jangka panjang yang harus kita buat,” kata Achim Steiner.
Faktor terbesar yang memperkuat tren kemunduran pembangunan manusia adalah anjloknya tingkat harapan hidup di dunia, dari 73 tahun pada 2019 menjadi 71,4 tahun pada 2021.
Pedro Conceicao, yang mengepalai tim riset UNDP, menggambarkan kemunduran sebagai "kejutan tiada banding,” sembari menambahkan bahwa sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat, mengalami penurunan selama dua tahun atau lebih.
Dalam laporannya, UNDP menulis betapa krisis iklim, globalisasi dan perpecahan politik menciptakan ketidakpastian "yang belum pernah terjadi dalam sejarah manusia.”
"Orang sudah kehilangan rasa saling percaya antara satu sama lain,” kata Steiner. "Jangankan institusi, tetangga pun sekarang bisa menjadi ancaman terbesar, entah itu dalam skala kecil, antarnegara atau secara global,” imbuhnya. "Situasi ini melumpuhkan kita.”
"Kita tidak bisa terus menggunakan pendekatan dari abad lalu,” tutur Steiner lagi. Menurutnya, dunia harus mengadopsi konsep ekonomi transformatif, ketimbang mengandalkan pertumbuhan sebagai tolak ukur.
"Sejujurnya, transformasi yang kita butuhkan menyaratkan kita mulai menggunakan metrik masa depan, yakni rendah emisi, minim ketimpangan dan berkelanjutan.”
Meski demikian, UNDP tetap melihat adanya peluang untuk memperbaiki neraca pembangunan manusia, yakni investasi energi berkelanjutan, mitigasi pandemi di masa depan, penguatan asuransi kesehatan dan inovasi untuk meningkatkan kapasitas menanggulangi krisis ekonomi dan politik.
Steiner juga mengeritik seretnya aliran dana bantuan pembangunan kepada negara-negara miskin. "Kebijakan tersebut menganggap remeh dampaknya terhadap kemampuan kita untuk bekerja sama sebagai bangsa-bangsa," imbuhnya.