Berita Indonesia terkini politik, ekonomi, megapolitan , Politik, senayan, nasional balaikota, olahraga, lifestyle dan hiburan ditulis lengkap dan mendalam - Radarnonstop.co

Politik Identitas Lewat Budaya (Indonesia vs Malaysia): Indonesia (Harus) Banyak Mengalah?

Tori | Kamis, 04 Agustus 2022
Politik Identitas Lewat Budaya (Indonesia vs Malaysia): Indonesia (Harus) Banyak Mengalah?
-

GEMBAR-gembor publik yang sedang marak saat ini dengan slogan 'Kebaya Goes to UNESCO' nampaknya akan menuju antiklimaks dan berpotensi dramatik, karena Pemerintah RI melalui KemendikbudRistek cenderung akan menyetujui ajakan Malaysia melakukan pengusulan nominasi bersama perihal kebaya menuju UNESCO untuk ditetapkan menjadi Warisan Budaya Dunia Tak Benda. Juga bersama Singapore & Brunei Darussalam. Istilah populernya menggunakan jalur  'multi nation' yang memang akan memudahkan proses diplomasi pada sidang UNESCO.

Drama paling seru nantinya adalah kebaya macam apa yang akhirnya disepakati & layak dideskripsikan sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda secara bersama tersebut. Tapi ini mungkin akan cenderung hanya pada persoalan drama opini masing-masing yang memiliki latar belakang dan ego yang beragam.

Pemerintah pasti cenderung ingin menempuh jalan mudah ketimbang jalan terjal, bersaing dengan (terutama) Malaysia. Hal ini bisa dipahami karena pemerintah cukup tahu diri jika ngotot ingin menggunakan jalur 'single nation'. Artinya pengusulan dari satu negara saja (Indonesia), konsekuensinya akan menempuh jalan panjang dan negosiasi yang cukup alot, serta kemungkinan mengorbankan kuota pengusulan yang dimiliki setiap negara untuk pengajuan 'single nation' yang hanya bisa dilakukan dua tahun sekali untuk setiap tema yang diajukan melalui jalur tersebut. 

BERITA TERKAIT :
Malaysia Tim Asia Tenggara Terburuk di Piala Asia 2023
Eks Menpora Malaysia Terjerat Cuci Uang, Anak Muda Gak Jaminan Lurus Dan Bersih

'Reog Ponorogo' dan 'Jamu' yang selayaknya memang harus diusulkan lewat jalur 'single nation', sudah berbaris pada antrian pengajuan ke UNESCO.

Sebulan lalu, saya dapat info dari salah satu pejabat sebuah kementerian yang memperlihatkan surat dari Kemenlu perihal ajakan Malaysia melalui Kedutaan-nya di Indonesia. Surat tersebut mungkin sudah terkirim sejak dua atau tiga bulan lalu dari pihak Malaysia.

Malaysia mengajak Indonesia?? Itulah ironi situasi yang merupakan realitas untuk dipahami masyarakat luas yang mempercayakan persoalan birokrasi kebudayaan bangsa  pada salah satu bagian dari KemendikBudRistek yang pasti harus memprioritaskan birokrasi sistem pendidikan bagi SDM bangsa indonesia. Dari salah satu perspektif tertentu, Indonesia harus sampai hati "menelan" kenyataan tersebut. Karena bagi sebagian kelompok fanatis kebaya, sah-sah saja kalau hal tersebut dianggap sebagai 'pelecehan', karena sangat mudah mengungkap bukti-bukti historis, bagi kelompok masyarakat yang sekarang bernaung di bawah wilayah Republik Indonesia, memiliki tradisi busana kebaya yang lebih lama usianya. Mungkin akan beda cerita kalau bicara tentang busana 'baju kurung'. 

Peristiwa 'ajakan' tersebut seolah memberi pemahaman lebih mendalam pada saya terhadap kelemahan sistem birokrasi pelestarian budaya, apalagi pengembangan kebudayaan di republik ini. Pengalaman pribadi saat awal mengusung kegiatan Digitalisasi Aksara Nusantara pada tiga tahun lalu, dalam rangka berharap mendaoat arahan kemana harus melangkah (sambil secara tegas, menyatakan tidak meminta anggaran), waktu itu seolah berhadapan dengan tembok.

Pengalam pribadi pula, ketika pada 2013 ikut terlibat menginisiasi dan mengawal hingga tradisi pencak silat ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda yang berasal dari Indonesia (single nation) memang harus lewat Kemendikbud. Perjalanan tersebut kami kawal sangat intens. Kegigihan tokoh di antara kami waktu itu, Eddie Nalapraya, yang membuat Tradisi Pencak Silat akhirnya bisa ditetapkan sebagai warisan dunia yang berasal dari Indonesia pada akhir 2019. Kami saat itu realistis menerimanya saat Malaysia juga mendapat penetapan tentang pencak silat dalam konteks sport. 

Kebaya dalam konteks tradisi, semestinya bisa menempuh cara yang sama. Tapi saya tidak yakin menimbang, khususnya, antusiasme Malaysia yang mampu membuat momen 'mengajak' indonesia. Saya menduga akan sering Malaysia membangun momen tersebut, sehubungan kondisi yang serumpun dan banyak WN Malaysia yang berasal dari Indonesia dengan membawa pula tradisi yang diturunkan (diajarkan) oleh buyut-buyutnya. Tentu perihal itu harus kitai apresiasi karena semangatnya melakukan proses pelestarian ketimbang nantinya 'wisdom' tersebut menuju punah. Kita kayak 'angkat topi' terhadap sistematika Pemerintah Malaysia membangun politik identitasnya.

Semua pemikir di berbagai negara pasti menyadari bahwa budaya atau tradisinya adalah salah satu pilar utama dalam membangun identitas bangsa untuk menjadi sebuah bangsa yang unggul dan kuat. Banyak negara mempersiapkan visi dan menyusun misinya, serta bertindak sistematis sebagai salah satu kegiatan berpolitik globalnya. Karena perihal ini merupakan bagian dari sebuah tatanan kebangsaan yang berimplikasi jangka panjang dari generasi ke generasi berikut. 

Sebagai negara yang memiliki sedemikian banyak potensi keunggulan untuk menjadi sebuah bangsa yang bisa mempengaruhi proses arah perjalanan peradaban manusia modern, sebagai bagian dari Bangsa Indonesia, tentu nggak berharap berada pada rangkaian kelompok gerbong peradaban paling belakang.

Ini bukan persoalan kita ini mampu atau tidak mampu. Utamanya adalah  tentang persoalan mau atau tidak mau.


Heru Nugroho & Amelya Nugroho
(Ketua Yayasan Budaya Nusantara Digital