Berita Indonesia terkini politik, ekonomi, megapolitan , Politik, senayan, nasional balaikota, olahraga, lifestyle dan hiburan ditulis lengkap dan mendalam - Radarnonstop.co

Komut Asabri Fary Francis Masih Pejabat Teras Gerindra, Etiskah?

RN/NS | Selasa, 14 Desember 2021
Komut Asabri Fary Francis Masih Pejabat Teras Gerindra, Etiskah?
-

RN- Kader Partai Gerindra Fary Djemi Francis diketahui menjabat sebagai Komisaris Utama PT. ASABRI (Persero) sejak 29 Juli 2020. Hal ini diinformasikan melalui laman resmi BUMN tersebut di www.asabri.co.id

Sebagai komisaris di BUMN seharusnya Fary (panggilan akrabnya) terbebas dari belenggu kepentingan apalagi partai politik, karena tentunya hal tersebut akan merusak objektifitas BUMN yang dijabat. Namun nyatanya sampai saat ini Farry diketahui masih menjabat sejumlah jabatan di struktural dan organisasi sayap Partai Gerindra.

Menteri BUMN Erick Tohir mengatakan bahwa sah saja jika kader partai politik menjadi komisaris BUMN selama bukan sebagai pengurus partai.

BERITA TERKAIT :
Jatuh Bangun Ariza Bisa Jadi Cermin Politisi Lokal Jakarta Yang Mau Melenting Ke Atas
Ariza Memang Hoki, Dapat Hadiah Jabatan Wakil Menteri

Namun berbeda dengan Fary, dari Informasi yang didapat tim radarnonstop, Fary diketahui menjabat sebagai Anggota Dewan Pembina DPP Partai Gerindra, juga sebagai Ketua Umum GEKIRA (Gerakan Kristiani Indonesia Raya) yang merupakan Organisasi Sayap Partai Gerindra, serta Ketua Tim Tenaga Ahli Fraksi Partai Gerindra DPR-RI. 

Informasi ini diketahui, salah satunya dari laman media sosial resmi Partai Gerindra. Di akun twitternya pada 15 April 2021, @Gerindra memberikan tweet "Fary Francis, Ketua PP GEKIRA, menjelaskan bahwa ini merupakan bentuk empati Gerindra terhadap warga yang saat ini tertimpa musibah" #AksiNyata

Jika dilihat dari tanggal pengangkatan Fary sebagai Komisaris Asabri pada 29 Juli 2020 dan tweet tersebut dikeluarkan tanggal 15 April 2021, artinya Fary masih menjabat sebagai pejabat teras di Partai Gerindra walaupun sudah menjadi Komisaris di BUMN. Tentu muncul pertanyaan, apakah hal ini etis atau tidak?

Untuk perimbangan berita, pihak redaksi telah mencoba menghubungi yang bersangkutan guna mengkonfirmasi hal ini, namun sampai berita ini diterbitkan pihak redaksi belum mendapat tanggapan.

Disisi lain, Anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih pun menyoroti keberadaan Peraturan Menteri BUMN Nomor Per-02/Mbu/2015 yang mengatur persyaratan formil, materiil, dan lainnya di dalam pengangkatan komisaris.

Menurutnya, salah satu faktor mundurnya kinerja BUMN yang harusnya menjadi alat vital negara dalam melakukan usaha, karena rekrutmen para pengurus partai politik dan anggota relawan yang tidak memiliki kesesuaian kompetensi.

"(Pengangkatan pengurus parpol) ada sanggahan-sanggahan awalnya. Anda mundur sebelum jadi komisaris, atau sesudah menjadi komisaris? Kalau sesudah, itu bertentangan dengan regulasi yang ada. Menurut kami ini kebusukan-kebusukan dari akibat semakin longgarnya atau semakin besarnya ruang untuk mengabaikan etika yang kita berikan di dalam tata kelola BUMN ini," kata Alamsyah dalam telekonferensi, Minggu (28/6/2020) yang lalu.

Ombudsman RI sendiri menemukan adanya 397 penyelenggara negara/pemerintahan yang terindikasi rangkap jabatan sebagai komisaris BUMN pada 2019.

Dari 397 orang dimaksud, komisaris terindikasi rangkap jabatan yang berasal dari Kementerian mencapai 254 orang (64 persen), dari Lembaga Non Kementerian mencapai 112 orang (28 persen), dan dari Perguruan Tinggi 31 orang (8 persen).

Untuk instansi asal kementerian, ada lima kementerian yang mendominasi hingga 58%, yaitu Kementerian BUMN (55 orang), Kementerian Keuangan (42 orang), Kementerian Perhubungan (17 orang), Kementerian PUPR (17 orang), dan Kementerian Sekretaris Negara (16 orang).

Jika BUMN hanya menjadi tempat balas jasa politik tanpa mengindahkan etika-etika yang ada, salah satunya pejabat BUMN masih merupakan pejabat teras partai politik, maka pemerintah seolah sedang mempertontonkan kebobrokan pengelolaan kepemerintahannya.

Tentu hal ini menjadi korelasi jelas mengapa begitu banyak BUMN yang bangkrut bahkan terindikasi korupsi, karena dalam implementasinya sangat kental pengaruh politik praktis didalamnya.

Lantas bagaimana pemerintah mau meningkatkan kepercayaan masyarakat, jika tata kelola BUMN seperti ini yang dikedepankan?