RN - Universitas Indonesia (UI) melawan. Kampus negeri yang jebolannya banyak menduduki posisi strategis di negeri ini meminta Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud-Ristek) tidak lagi terlibat dalam menentukan gelar profesor.
Sebab, UI sudah otonom sesuai PP Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI.
Hal itu disampaikan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Rektor UI Ari Kuncoro lewat kuasa hukumnya, Ima Mayasari. Dalam sidang itu, UI meminta menjadi pihak terkait atas judicial review yang diajukan oleh dosennya, Sri Mardiyati, yang gagal jadi profesor karena Mendikbud tidak mengeluarkan surat keputusan.
BERITA TERKAIT :"Menyatakan ketentuan Pasal 50 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa seleksi, penetapan, dan pengangkatan jenjang jabatan akademik, termasuk guru besar, merupakan kewenangan sepenuhnya dari rektor sebagai pimpinan satuan pendidikan tinggi tanpa ada campur tangan menteri," demikian bunyi pendapat hukum Ari Kuncoro yang dikutip dari website MK, Kamis (11/11/2021).
Menurut UI, otonomi kampus haruslah dihormati. Otonomi kampus UI tertuang dalam PP Nomor 75 Tahun 2021. Salah satunya terkait menentukan siapa saja yang berhak mendapatkan gelar profesor.
"Menyatakan bahwa khusus untuk Universitas Indonesia, pengangkatan serta penetapan jenjang jabatan akademik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditentukan oleh setiap satuan pendidikan tinggi sesuai dengan peraturan perundang-undangan harus dimaknai 'sesuai dengan PP Nomor 75 Tahun 2021'," beber Ari.
Setelah ditetapkan pemerintah sebagai perguruan tinggi negeri badan hukum (PTNBH) pada 2013, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Indonesia (diperbarui dengan PP Nomor 75/2021), maka UI mengelola kegiatan akademik maupun nonakademik secara otonom.
Khususnya Pasal 4 yang berbunyi: "UI merupakan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum yang mengelola bidang akademik dan nonakademik secara otonom. Salah satu bentuk otonomisasi itu adalah diberikannya kewenangan kepada Dewan Guru Besar Universitas Indonesia untuk melakukan penilaian dan memberikan persetujuan pada kenaikan jabatan lektor kepala dan guru besar untuk ditindaklanjuti oleh rektor...."
"Secara yuridis seharusnya tindak lanjut dari rektor yang mewakili universitas, baik di dalam maupun keluar universitas adalah menetapkan dan mengangkat calon guru besar untuk menjadi guru besar," ujarnya.
Sebab, UI diberi otonomisasi atau kemerdekaan dalam bidang akademik dan nonakademik sesuai peraturan pemerintah dimaksud dan dewan guru besar yang memiliki kewenangan untuk melakukan penilaian telah menyetujui kenaikan jabatan itu.
"Namun, dalam praktiknya, peraturan pemerintah yang menjadi payung hukum pengelolaan Universitas Indonesia tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sebab, timbul atau ada peraturan teknis dari kementerian terkait yang mengatur berbeda atau mengurangi otonomisasi," terangnya.
Peraturan yang menghalangi otonomis kampus, di antaranya:
1. Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 46 Tahun 2013.
2. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Dosen.
3. Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Pangkat atau Jabatan Akademik Dosen Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Tahun 2014 yang diganti dengan Pedoman Operasional Penilaian Angka Kredit Kenaikan Jabatan Akademik atau Pangkat Dosen Pendidikan Tinggi Tahun 2019 .
"Pasal 41 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI menjadi fondasi payung hukum yang memiliki signifikansi penting dalam pengelolaan SDM, khususnya pengangkatan, serta penetapan jenjang jabatan akademik guru besar yang juga telah diamanatkan sebagai kewenangan Universitas Indonesia sesuai Pasal 50 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen," katanya menegaskan.
Sebagaimana diketahui, sidang ini diajukan oleh dosen Departemen Matematika Fakultas MIPA Universitas Indonesia (UI) Dr Sri Mardiyati, menggugat UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ke MK dan menuding ada kartel gelar profesor di Kemendikbud-Ristek sehingga peraturan yang 'menjegalnya' harus dihapuskan.