Berita Indonesia terkini politik, ekonomi, megapolitan , Politik, senayan, nasional balaikota, olahraga, lifestyle dan hiburan ditulis lengkap dan mendalam - Radarnonstop.co

Jumat 17 Agustus 1945, Goresan Pena Bung Karno Untuk Kemerdekaan Indonesia

SN/HW | Senin, 16 Agustus 2021
Jumat 17 Agustus 1945, Goresan Pena Bung Karno Untuk Kemerdekaan Indonesia
-

RN - Usaha Founding Father Indonesia Merdeka dalam merumuskan hingga memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia menjadi cacatan herois yang tertanam dalam ingatan bangsa yang mengalami penjajahan selama 350 tahun ini.

Deputi Gubernur DKI Bidang Budaya dan Pariwisata Dadang Solihin mengisahkan bagaimana Bung Karno di kediaman Perwira Tinggi Angkatan Laut Jepang, Laksamana Muda Tadashi Maeda, atau lebih dikenal Laksamana Maeda menyiapkan naskah Proklamasi yang ditunggu - tunggu rakyat Indonesia tersebut.

"Setelah perdebatan panjang antara Bung Karno dengan Nishimura, Bung Karno kembali ke kediaman Maeda untuk melanjutkan penyusunan naskah Proklamasi Kemerdekaan RI," ujar Dadang berkisah kepada wartawan di Jakarta, Senin (16/8/2021).

BERITA TERKAIT :
Jet Pribadi Milik Suami Sandra Dewi Dibidik, Komisaris PT RBT AGR (Anggreini) Bakal Dipanggil Lagi?
Takut Warganya Kena Nuklir, Australia Minta Warganya Pulang Kampung 

Dadang mengisahkan, Bung Karno sempat menyebut bahwa naskah Proklamasi yang ia susun hanyalah pernyataan singkat yang tidak menggetarkan perasaan. Hal itu disampaikan Bung Karno saat membujuk seorang Gunseikan Kolonel Nishimura agar memastikan kemerdekaan Indonesia terlakasana. 

"Dengan mana kami menuntut kembali tanah tumpah darah kami setelah 350 tahun, isinya hanyalah: 

"Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jakarta, 17-8-45 Atas nama bangsa Indonesia, Sukarno-Hatta," ucap Dadang menirukan ungkapan Bung Karno.

Lebih lanjut Dadang mengatakan bahwa saat itu Bung Karno dalam keadaan sakit. Namun, tidak sedikitpun menggoyahkan langkah Bung Karno dalam menyiapkan naskah Proklamasi tersebut. Saat itu, kata Dadang, Bung Karno sedang mengalami serangan malaria. Badannya menggigil, suhu tubuhnya naik sampai 40 derajat. 

Meski sakitnya sangat parah, tambah Dadang, Bung Karno tidak tidur dan memilih menuju meja tulis dan duduk di sana selama berjam-jam. "Ibu Fatmawati cukup mengerti dan membiarkan Bung Karno seorang diri. Karena Apa yang bergelora di dalam dada suaminya lebih hebat dari serangan malaria," kata Dadang.

"Bung Karno segera mulai dengan membuat petunjuk-petunjuk yang akan diberikan kepada para pemimpin bangsa. Seperti instruksi bagaimana mengerahkan pasukannya guna pertahanan juga mengeluarkan perintah untuk mengambil alih pemerintahan di tingkat desa," tutur Dadang yang ia kutip dari buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat.

"Bung Karno menyampaikan, 'Besok Saudara akan mendengar melalui radio, berita bahwa kita sekarang menjadi bangsa yang merdeka. Begitu mendengar berita itu, bentuklah segera komite kemerdekaan daerah di setiap kota di daerah Saudara'," lanjutnya.

Dikisahkan Dadang, berdasar buku yang ia baca tersebut, saat itu setiap orang bergerak menyambut agenda sakral bangsa Indonesia pada bulan Agustus 1945 itu. Tidak ada yang mengatur, kata Dadang, tapi masing-masing orang sibuk menyebarkan berita melalui telepon, naik sepeda, mengetok pintu dari rumah ke rumah atau berteriak di jalan-jalan.

Hingga pada Pukul tujuh pagi, lanjut Dadang, ratusan orang berkumpul di depan jendela tempat Bung Karno tinggal. Mereka datang berbondong-bondong membawa bambu runcing, batu, sekop, tongkat, parang atau golok, dan apa saja yang dapat mereka bawa. Pesan sudah tersebar bahwa Bung Karno akan menyatakan kemerdekaan. 

"Kita harus melindungi Bung Karno. Petani, pedagang kelontong, nelayan, pegawai negeri, anak-anak muda dan orang tua, semua orang bergerak ke Pegangsaan Timur 56," ucap Dadang.

Dadang mengatakan, dalam imajinasinya betapa saat itu sangat mencekam. Bisa dibayangkan, kata Dadang, Garnisun Peta disekitar lokasi yang telah bergolak selama satu minggu, segera siaga. Seandainya tentara Jepang mengepung Pegangsaan dengan kendaraan tempur, satu unit yang terdiri dari 170 prajurit dan lima orang perwira, dengan segudang senjata hasil selundupan, Garnisun sudah disiapkan untuk melakukan serangan dari belakang.

"Jalan-jalan, kampung-kampung, rumah-rumah di sekitarnya serta jalanan yang menuju ke Nomor 56 sudah ditutup dengan pasukan. Satu regu pengawal bersenjata melakukan patroli di setiap sudut dari pekaranganku yang sempit itu," ungkap Dadang seperti halnya diceritakan Bung Karno itu.

Melihat hal itu, kata Dadang, barisan Pelopor yakni pasukan pemuda sipil di bawah kaomando Bung Karno dipersenjatai. Lima orang ahli judo ditugaskan berjaga disekitar Bung Karno. Bahkan, Ketika para pengawal pribadi kelompok pertama yang tiba pada pukul sembilan pagi, terpaksa menyikut kiri-kanan supaya dapat menembus ratusan orang yang sudah berjejal. 

"Berita tentang Proklamasi sudah menyebar dari mulut ke mulut," kata Dadang.

Lebih lanjut Dadang menceritakan tentang sekelompok mahasiswa yang berupaya meminjam mesin stensil dari kantor-kantor Jepang tempat mereka bekerja guna memperbanyak selebaran yang sederhana itu.

Setelah semalaman memperbanyak naskah, pagi harinya mereka mencari kendaraan untuk berkeliling menyebarkan naskah-naskah Proklamasi yang dibuatkan Bung Karno tersebut.

"Semua jalanan yang menuju ke tempat Bung Karno dipenuhi rakyat. Satu kendaraan menurunkan dua puluh mahasiswa. Mereka berada dalam kendaraan itu, di atasnya, di tempat bagasi, di mana saja. Tetapi semuanya teratur. Tidak ada suara hiruk-pikuk. Mereka telah diberi tahu bahwa Bung Karno sedang sakit. Selain itu, setiap orang gugup dan tegang," ungkap Dadang menggambarkan situasi saat itu sebagaimana Bung Karno ceritakan.

"Sekitar 500 orang berdiri di depan kediaman Bung Karno. Fatmawati, seorang diri yang saat terus menjaga Bung Karno selama tidur, membangunkannya. Digambarkan raut wajah Bung Karno saat itu pucat dan menggigil. Dia hanya tidur selama beberapa menit saja," terangnya.

Dadang menyampaikan, desakan rakyat kepada Bung Karno untuk segera membacakan naskah Proklamasi terus bergulir. Namun, Bung Karno masih menunggu kedatangan sahabatnya yakni Bung Hatta.

“Hatta belum datang, Aku tidak mau membacakan proklamasi tanpa Hatta," ujar Bung Karno yang diceritakan Dadang itu.

Pada waktu yang cukup krusial tersebut, ucap Dadang, akhirnya Bung Hatta muncul masuk ke kamar tempat Bung Karno terbaring. Tidak ada catatan berarti antara pada momen kemunculan Bung Hatta di kamar Bung Karno.

"Disebutkan bahwa Bung Karno lantas bergantin pakaian serba putih yang ditampakkan pada wajah kedua proklamator tersebut hanya letih," ucapnya.

Dadang menyampaikan, dalam buku tersebut dikatakan bahwa upacara berlangsung tanpa suatu protokol. Tidak ada yang ditugaskan secara khusus dan tidak ada acara yang direncanakan sebagaimana upacara resmi, karena memang tidak ada acara. 

Upacara itu berlangsung sederhana. Tetapi, kata Dadang, Bung Karno inisiatif menggunakan pengeras suara yang didapat dari stasiun radio Jepang lantas dengan singkat membacakan naskah Proklamasi itu. 
Kemudian, lanjut Dadang, Ibu Fatwati yang telah telah membuat dan menyiapkan sebuah bendera dari dua potong kain. Sepotong kain putih dan sepotong kain merah. Ia menjahitnya dengan tangan. 

"Inilah bendera resmi yang pertama dari Republik. Tiang benderanya berupa batang bambu panjang yang ditancapkan ke tanah beberapa saat sebelum itu. Buatannya kasar. Dan tidak begitu tinggi," tutur Dadang.

Dalam buku tersebut, kata Dadang, disebutkan bahwa tidak ada orang yang ditugaskan mengibarkan bendera Merah Putih perdana itu. Bahkan, Tidak ada persiapan untuk itu. Dan tak seorang pun berpikir sejauh itu. 

"Latif Hendraningrat, satu dari sekian orang yang memakai seragam, berada dekat tiang. Setiap orang menunggu dengan tegang ketika dia mengambil bendera itu, mengikatkan pada tali yang kasar dan kusut, dan mengibarkannya, seorang diri, dengan kebanggaan untuk pertama kali setelah tiga setengah abad," kata Dadang meniru ungkapan Bung Karno.

Tidak ada musik, tidak ada orkes. Setelah bendera dikibarkan, mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya. "Saat itu pukul 10, Revolusi sudah dimulai," pungkas Dadang.