RADAR NONSTOP - Kasus hukum yang menimpa staf honorer di salah satu SMA Negeri Mataram bernama Baiq Nuril Maknun, disayangkan bahkan diprotes keras banyak pihak.
Alasannya, walau diduga menjadi korban pelecehan seksual secara verbal oleh atasannya (kepala sekolah), Nuril oleh Mahkamah Agung (MA) divonis melanggar aturan UU ITE dengan menyebarkan informasi elektronik yang mengandung muatan kesusilaan.
Merespon kasus tersebut, anggota DPD RI dapil DKI Jakarta Fahira Idris memberikan tanggapan kritis. “Jangan sampai hukum kehilangan hakikatnya. Intisari dari hukum itu adalah keadilan. Ibu Nuril belum mendapatkan itu (keadilan hukum). Walau sebagai warga negara kita harus menerima vonis hakim, tetapi sebagai warga negara, kita juga berhak menyampaikan keperihatinan,” ucap aktivis perempuan itu di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta (14/11).
BERITA TERKAIT :Fahira mengungkapkan, salah satu agenda penting bangsa ini adalah melawan segala bentuk kejahatan seksual kepada perempuan baik secara fisik maupun verbal yang angkanya masih sangat tinggi.
"Dikhawatirkan akibat kasus ini, banyak perempuan-perempuan lain yang mungkin mengalami pelecehan seksual terutama verbal lebih memilih diam dan bungkam. Tentunya ini kontradiktif dalam upaya kita melawan segala macam bentuk kejahatan seksual terhadap perempuan,” tegas Fahira.
Sebagai informasi, kasus ini bermula ketika Baiq Nuril merekam pembicaraan Kepala Sekolah (M) dengan dirinya pada 2012 yang diduga mengandung muatan kesusilaan. Belakangan, percakapan itu terbongkar dan beredar di masyarakat. M tidak terima dan melaporkan Nuril ke polisi pada 2015 dan disangkakan melanggar Pasal 27 ayat 1 UU ITE. Pada Juli 2017, PN Mataram membebaskan Baiq Nuril karena hakim menilai perbuatan Nuril tidak melanggar UU ITE di pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1) sebagaimana dakawaan jaksa. Namun di tingkat kasasi Nuril divonis penjara 6 bulan dan denda Rp 500 juta.