RN - Ancaman Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden agar kubu militer tidak melakukan kudeta tidak digubris. Bahkan, diduga ada pergerakan militer di Kota Yangon.
Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Myanmar memperingatkan setiap warga negara AS di negara itu untuk waspada setelah berbagai laporan menyebut ada pergerakan militer di kota Yangon. Warga AS di ibu kota komersial Myanmar itu diimbau untuk tetap berada di dalam rumah.
Seperti dilansir Reuters dan AFP, Senin (15/2/2021), Kedubes AS di Myanmar juga memperingatkan warganya soal potensi gangguan telekomunikasi mulai Minggu (14/2) malam waktu setempat.
BERITA TERKAIT :"Ada indikasi pergerakan militer di Yangon dan kemungkinan gangguan telekomunikasi sepanjang malam antara pukul 01.00 hingga pukul 09.00 waktu setempat," demikian pernyataan Kedubes AS di Myanmar via akun Twitter resmi American Citizen Services.
"Warga negara AS di Burma disarankan untuk tetap berada di tempat perlindungan selama jam malam pukul 20.00 waktu setempat hingga 04.00 waktu setempat," imbuh pernyataannya itu, menggunakan nama lain Myanmar.
Peringatan dirilis Kedubes AS setelah siaran online dari media lokal melaporkan kemunculan beberapa kendaraan lapis baja muncul di kota Yangon, Myitkyina dan Sittwe -- ibu kota Rakhine.
Kemunculan kendaraan militer berskala besar semacam ini menjadi yang pertama sejak kudeta militer dilancarkan pada 1 Februari lalu.
Militer Myanmar diketahui melakukan penangkapan massal terhadap para pelaku gerakan ketidakpatuhan sipil yang diwarnai aksi unjuk rasa besar-besaran di kota-kota besar maupun di desa-desa terisolasi di negara itu.
Kepolisian Myanmar saat ini tengah memburu tujuh orang yang memberikan dukungan untuk unjuk rasa semacam itu, termasuk beberapa aktivis demokrasi terkemuka di negara itu.
Salah satu yang diburu adalah Min Ko Naing yang pernah ditahan lebih dari satu dekade karena memimpin protes melawan diktator Myanmar tahun 1988 saat dia masih mahasiswa. Unjuk rasa tahun 1988 silam melambungkan nama Aung San Suu Kyi ke posisi teratas gerakan demokrasi Myanmar. Akibat aksi itu, Suu Kyi menjadi tahanan rumah selama bertahun-tahun. Sejak ditahan militer pada 1 Februari lalu, Suu Kyi belum muncul ke publik hingga kini.
Menurut kelompok pemantau Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, nyaris 400 orang ditangkap dalam beberapa hari terakhir di Myanmar, termasuk para sekutu politik Suu Kyi.
Pemimpin junta militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, menangguhkan undang-undang yang mewajibkan adanya surat perintah penggeledahan sebagai bagian dari manuver hukum. Namun hal itu tidak menyurutkan tekad ribuan orang untuk kembali berunjuk rasa di Yangon.
Pada Sabtu (13/2) waktu setempat, otoritas AS menaikkan travel warning untuk Myanmar ke level tertinggi, yakni Level 4: Do Not Travel atau dilarang bepergian. "Jangan bepergian ke Burma karena COVID-19 serta area-area kerusuhan sipil dan konflik bersenjata," demikian bunyi travel warning dari AS untuk Myanmar.
Disebutkan juga oleh Departemen Luar Negeri AS bahwa mulai 14 Februari, otoritas AS mengizinkan keberangkatan sukarela dari pegawai pemerintah AS non-darurat dan anggota keluar mereka dari Myanmar.