Berita Indonesia terkini politik, ekonomi, megapolitan , Politik, senayan, nasional balaikota, olahraga, lifestyle dan hiburan ditulis lengkap dan mendalam - Radarnonstop.co
Setelah Dibaca Anies

Buku ‘How Democtacies Die' Diburu, Pedagang: Alhamdulillah Jadi Laris  

NS/RN | Senin, 23 November 2020
Buku ‘How Democtacies Die' Diburu, Pedagang: Alhamdulillah Jadi Laris   
-

RADAR NONSTOP - Buku ‘How Democtacies Die' diburu banyak orang. Buku yang ditulis Levitsky, Steven (Author) Ziblatt, Daniel (Author) berjumlah 256 halaman.

Buku tersebut berisi soal 'Bagaimana Demokrasi Mati'. “Apakah demokrasi kita dalam bahaya?”. Pertanyaan itu menjadi pembuka dalam buku yang ditulis oleh dua ilmuwan politik dari Universitas Harvard bernama Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt berjudul “How Democracies Die” terbitan 2018.

Pertanyaan pembuka itu sebenarnya mereka tujukkan dalam konteks Amerika Serikat, terutama setelah terpilihnya Donald Trump sebagai presiden pada tahun 2016 lalu.

BERITA TERKAIT :
Prabowo Butuh PKB, Cak Imin Belum Putuskan Koalisi Atau Oposisi
Jadi Oposisi Seret & Lemah, PPP Sadar Sebagai Partai Gurem 

Mereka khawatir masa depan demokrasi di Amerika Serikat. Bukan tanpa alasan, pasalnya selama dua tahun terakhir (sebelum buku tersebut diterbitkan), mereka melihat indikasi matinya demokrasi di AS.

Seperti politisi yang memperlakukan saingan mereka sebagai musuh, mengintimidasi pers dan bahkan mengancam akan menolak hasil pemilu.

Dengan mengesampingkan sementara apa yang terjadi di Amerika Serikat, para penulis mengulas catatan sejarah mengenai matinya demokrasi di sejumlah negara, terutama pada saat dan pascaPerang Dingin.

Banyak dari kita mungkin selama ini berpikir bahwa demokrasi mati “di tangan pria bersenjata”.
Sebenarnya, anggapan ini tidak keliru. Pasalnya, selama Perang Dingin, kudeta atau perebutan kekuasaan dengan paksa dan menggunakan kekuatan, menyumbang hampir tiga dari setiap empat kehancuran demokrasi.

“Demokrasi di Argentina, Brasil, Republik Dominika, Ghana, Yunani, Guatemala, Nigeria, Pakistan, Peru, Thailand, Turki, dan Uruguay semuanya mati dengan cara seperti itu,” kutipan buku tersebut.

Pasca Perang Dingin pun, perebutan kekuasaan dengan kekuatan bersenjata juga masih digunakan sebagai cara ampuh untuk membunuh demokrasi, meski intensitasnya tidak sebanyak sebelumnya.

Sebut saja kudeta terhadap Presiden Mesir Mohamed Morsi pada tahun 2013 dan Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra pada tahun 2014.

Dalam semua kasus tersebut ini, demokrasi dibubarkan dengan cara yang spektakuler, melalui kekuatan dan paksaan militer.

Namun di sisi lain, para penulis menekankan bahwa sebenarnya ada satu cara lain untuk menghancurkan demokrasi. Cara ini memang tidak sedramatis atau sespektakuler kudeta yang menggunakan kekuatan. Akan tetapi dampaknya sama-sama destruktif.

“Demokrasi bisa saja mati, bukan di tangan para jenderal, melainkan di tangan para pemimpin terpilih, presiden atau perdana menteri yang menumbangkan proses yang membawa mereka ke tampuk kekuasaan,” kutipan buku tersebut.

Sejarah mencatat, cara seperti ini pernah digunakan dan bahkan sebagian dari pemimpin yang menggunakan cara tersebut, berhasil membongkar demokrasi dengan cepat.

Sebut saja Adolf Hitler setelah kebakaran Reichstag 1933 di Jerman. Namun, lebih sering, cara tersebut mengikis demokrasi secara perlahan, dalam langkah-langkah yang nyaris tidak terlihat.

“Beginilah demokrasi sekarang mati. Kediktatoran yang terang-terangan – dalam bentuk fasisme, komunisme atau kekuasaan militer- telah menghilang di sebagian besar dunia. Kudeta militer dan perampasan kekuasaan lainnya jarang terjadi. Sebagian besar negara mengadakan pemilihan biasa,” begitu kutipan dari buku tersebut.

Jan, pedagang buku impor di Jakarta mengaku, sejak Anies mengunggah sedang membaca buku berjudul ‘How Democtacies Die’ banyak orang memesan. 

"Sampai saat ini sudah ada 100 buku yang pesan. Harganya Rp 300 ribuan," tegas Jan saat dihubungi wartawan, Minggu (22/11). 

Yang pesan kata dia, kebanyakan adalah warga Jakarta dan daerah. "Mereka ingin membaca mungkin penasaran. Alhamdulillah lah, jadi rame dagangan," tegas pria berkacamata ini.

Diketahui, Anies mengunggah foto dirinya bersantai sambil membaca buku berjudul ‘How Democtacies Die’. Buku itu dibacanya sebagai pengisi waktu luang di hari libur, Minggu (22/11/2020).

"Selamat pagi semua. Selamat menikmati Minggu pagi," tulis Anies dalam unggahan tersebut.

Judul buku itu lantas diperbincangkan di Twitter. Banyak yang menilai foto itu sengaja diunggah Anies untuk menyindir kondisi demokrasi saat ini, lewat buku karangan Steven Levisky dan Daniel Ziblatt itu.

Tak ayal, judul buku itu pun mendadak masuk daftar trending topic di Twitter. Hingga pukul 19.45 WIB, terdapat 2.551 cuitan terkait buku tersebut.

Komentar yang bermunculan pun beragam. Ada yang menyebut postingan Anies sebagai ‘simbol’ yang bisa diartikan bebas oleh setiap orang. Namun, ada juga yang khawatir buku tersebut bakal banyak dibajak usai jadi trending.

“Buku How Democracies Die bakalan banyak bajakannya nih,” tulis @rsyam_.

Sementara itu di postingan akun Instagram @aniesbaswedan, sejumlah warganet mendoakan Anies agar terus sehat dalam menjalankan tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Apalagi dirinya baru saja diklarifikasi Polda Metro Jaya selama sembilan jam terkait kerumunan acara Habib Rizieq di Petamburan.