RADAR NONSTOP - Praktisi Migas Gde Pradnyana menyampaikan bahwa paradigma migas dikuasai asing itu sudah harus mulai dihilangkan dalam persepsi masyarakat terlebih setelah mengamati kinerja 5 tahun Pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Menurut penulis buku Nasionalisme Migas ini dalam upaya mengembalikan kembali kedaulatan atas sumber-sumber ekonomi yang penting bagi negara maka pembenahan masalah subsidi yg merupakan sebuah beban sangat berat wajib dijalankan.
"Kita harapkan pemerintah menata kembali iklim investasi migas agar lebih menarik dan tidak alergi dengan investasi asing di sektor migas," ucapnya
BERITA TERKAIT :Tambah Gde lagi, dalam era industri 4.0 dimana kegiatan ekonomi tidak perlu melulu dimaknai sebagai dikerjakan sendiri, maka investasi asing sangat berbeda bentuknya dengan penguasaan atas sumber-sumber kekayaan alam seperti pada masa penjajahan. Investasi asing saat ini merupakan salah satu bentuk dari sharing economy, yaitu dalam hal sharing risk (berbagi risiko) karena dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas tingkat kegagalannya cukup besar.
Tambahnya, untuk itu diperlukan mitra yang kuat, sebagaimana halnya kemitraan antara pemilik sawah (negara selaku pemilik ladang migas) dan penggarap dalam hal ini KKKS yang memiliki kekuatan finansial, teknologi, dan kemampuan memikul resiko yang cukup agar tercipta kemitraan yang harmonis sehingga migas tidak lagi semata-mata dilihat dari sudut penerimaan negara dari sektor hulu migas, melainkan juga dalam upaya untuk pengurangan defisit belanja energi di sektor hilir.
" Fakta yang kita saksikan saat ini justru banyak negara yang tidak memiliki kekayaan alam malah lebih maju ketimbang negara yang memilikinya, " tegasnya
Dilanjutkan Gde,
untuk maksud tersebut maka integrasi hulu-hilir menjadi keniscayaan. Konsumsi migas yang sangat besar oleh sektor transportasi, misalnya, mesti diatasi dengan menyediakan sarana transportasi yang murah ketimbang menyediakan BBM yang murah. Subsidi BBM dialihkan menjadi subsidi atas sarana transportasi. Gde Pradnyana juga mengutip pernyataan Presiden Jokowi ketika beliau menjadi Gubernur DKI bahwa "infrastruktur itu dibangun untuk orang, bukan untuk mobil". Maknanya adalah pemanfaatan angkutan umum harus ditingkatkan kualitasnya untuk mengurangi minat masyarakat menggunakan angkutan pribadi. Perintah presiden untuk menyamakan harga BBM di seluruh Indonesia harus dimaknai sebagai penyediaan energi yang terjangkau bagi seluruh rakyat Indonesia.
"Ini dapat diwujudkan dengan konversi BBM ke sumber energi lain, termasuk ke gas bumi. Dengan demikian pembangunan depo, bunkering LNG, dan jaringan logistik minyak dan gas yang kuat akan dengan sendirinya membuat harga energy (termasuk BBM) menjadi terjangkau. Apalagi ke depan pemakaian sarana transportasi berbasis listrik akan semakin meningkat maka penyediaan listrik hingga ke pelosok-pelosok menjadi keharusan. Kegiatan-kegiatan ini dapat didukung dari hulu, baik itu kegiatan hulu migas, batubara, biofuel, maupun kegiatan hulu pembangkitan energi primer lainnya," paparnya.
Menurut Gde ini membutuhkan kolaborasi dengan berbagai pihak termasuk mengundang investasi asing dalam bentuk sharing economy tadi.
Hal ini sejalan dengan ungkapan Bung Karno bahwa "Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya Internasionalisme". Kemajuan suatu bangsa tidak dapat diwujudkan jika bangsa itu menutup diri dari pergaulan dengan bangsa-bangsa lainnya.
Sementara itu aktivis Tumpak Sitorus berpendapat serupa. Pentingnya tata kelola migas yang pro kedaulatan energi.
"Investasi jangan sampai kendor. Maraknya investasi akan meningkatkan populasi sunur baru," ucapnya